Secara kognitif, kritik/protes intelektual didasarkan pada pengertian atas situasi yang menjadi objek kritik secara menyeluruh, beserta sisi positif dan negatif serta ketidakpastiannya bagi kemungkinan dirumuskan solusi alternatifnya.
Secara reflektif, kritik/protes intelektual didasarkan pada kemampuan dan kesadaran untuk mengkaji situasi yang menjadi objek kritik dari berbagai perspektif, serta menghindarkan diri untuk tidak melakukan tindakan proyeksi atau menyalahkan orang/kelompok lain atas dasar situasi, perasaan atau kebenaran diri-sendiri.
Secara afektif, kritik/protes intelektual didasarkan pada sikap dan perilaku positif untuk menyelesaikan masalah melalui solusi alternatif, dan bukan didasarkan atau disertai sikap acuh tak acuh atau negatif terhadap orang/kelompok lain.
Dengan kata lain, kritik atau protes intelektual yang arif setidaknya memiliki unsur-unsur valid, rasional, dan bermanfaat; sikap/perilaku prososial; menghadirkan pemecahan masalah sosial yang pragmatis tentang kehidupan; mampu mengontrol homeostasis emosional; pengertian-diri atau refleksi-diri; menjunjung tinggi nilai toleransi; serta pengakuan dan penanganan ketidakpartian/ambiguitas secara efektif.
Jika ketiga unsur kritik atau protes intelektual diabaikan, yang tercipta adalah kritik atau protes intelektual yang arogan, angkuh, dan congkak.
Arogansi intelektual merupakan seperangkat karakteristik yang cenderung membutakan seorang/kelompok untuk mengenali kebenaran yang bersifat multidimensi.
Hal ini tercipta oleh motif untuk mempertontonkan kekuatan atau keungggulan epistemik dan superioritas dirinya yang diklaim diatas/melebihi orang/kelompok lain.
Arogansi kritik atau protes juga kerap dilakukan dengan membuat klaim-klaim atau dalih-dalih akademik/ilmiah yang sejatinya adalah hanya untuk kepentingan atau hak pribadi/kelompok yang lebih tinggi; berdasarkan asumsi berlebihan dan belum teruji; kebanggaan dan superioritas diri/kelompok yang “insolent” dan narsistik (Sajwani, 2020).
Arogansi intelektual merupakan konfigurasi fenomena kognitif, motivasional, dan sosial. Ia terbentuk dari kombinasi antara kecacatan kognitif dalam menilai kemampuan dan kebajikan diri, dorongan untuk lebih unggul dari yang lain, serta aspirasi dan persepsi sosial tentang superioritas (Nelson Cowan dkk., 2021).
Lebih lanjut, Nelson membagi arogansi intelektual dalam 3 (tiga) tipe, yaitu individual, komparatif, dan antagonis dalam kehidupan intelektual.
Arogansi individual adalah arogansi yang didasarkan pada pendapat yang berlebihan tentang kemampuan, sifat, atau pencapaian diri dibandingkan dengan kebenaran objektif.
Arogansi komparatif adalah arogansi yang didasarkan pada pendapat dan penilaian atas peringkat kemampuan, sifat, atau prestasi diri yang ditempatkan lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain.
Arogansi antagonis adalah arogansi yang didasarkan pada fitnah atau ejekan kepada orang/kelompok lain berdasarkan asumsi superioritas.
Dalam kaitan ini, menjadi sangat jelas perbedaan atau demarkasi antara kritik/protes intelektual yang tercipta dari kearifan intelektual dengan kritik/protes yang bermuatan ujaran kebencian, hinaan, nyinyiran, fitnah, provokasi, hasutan, dan semacamnya yang bertendensi personal-subjektif yang tercipta dari arogansi intelektual.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.