Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Kearifan Vs Keangkuhan Intelektual

Kompas.com - 13/08/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), intelektual adalah seorang atau pribadi yang cendekiawan, cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan serta mempunyai totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.

Tipe Intelektual

Antonio Gramsci (1978) membagi intelektual dalam empat tipe. Pertama, intelektual tradisional, yakni mereka yang fungsinya melanjutkan tugas/pekerjaan yang sama dari generasi ke generasi.

Termasuk kelompok pertama adalah guru, pendeta/agamawan, dan administrator.

Kedua, intelektual organik, yakni mereka yang fungsinya berkaitan secara langsung dengan kelas-kelas atau perusahaan-perusahaan (enterprises) yang menggunakan jasa intelektualnya untuk mengatur kepentingan, mendapatkan lebih banyak kekuasaan dan kendali, serta mampu menciptakan perubahan.

Termasuk kelompok kedua adalah para kapitalis, industriawan/pengusaha, spesialis (akademisi, ekonom, hakim, wartawan, editor, dll.).

Ketiga, intelektual kritis, yakni mereka yang melepaskan diri dari hegemoni kekuasaan dan menyediakan Pendidikan alternatif yang memerdekaan.

Julien Benda menyebut tipe ini sebagai intelektual “klerikal” (clerics), yaitu mereka yang menjunjung tinggi standar kebenaran dan keadilan abadi yang justru bukan dari dunia ini.

Merekalah intelektual sejati yang tidak tertarik untuk mencari keuntungan duniawi (politik, ekonomi, dll.) atau mengejar tujuan-tujuan praktis atau kesenangan.

Jesus, Socrates, Spinoza, Voltaire, dan Ernest Renan adalah beberapa contoh intelektual sejati (klerikal).

Keempat, intelektual universal, yakni mereka yang selalu memperjuangkan peradaban dan struktur budaya yang lebih maju dalam rangka penghormatan atas harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan.

Seorang intelektual atau cendekiawan, kata Julien Benda, adalah sosok yang dianugerahi bakat dan moral untuk membentuk hati-nurani umat manusia.

Mereka bukanlah pemikir yang hanya berdiam diri di menara-gading (ivory-towered thinkers), melainkan bergerak dan berjuang dengan hasrat metafisik dan prinsip keadilan serta kebenaran tanpa pamrih mencela segala bentuk penyimpangan, membela yang lemah, dan menentang kekuasaan otoriter dan menindas.

Di dunia akademik, intelektual adalah pemegang otoritas sah tradisi agung dunia akademik "yang berumah di angin", kata W.S. Rendra.

Atau seperti kata Edward Said, mereka adalah sosok yang bebas, independen, dan tak berada dalam sistem kekuasaan.

Mereka, kata Ali Syariati, seorang sosiolog asal Iran, adalah "rauzan fikr", manusia yang tercerahkan, sosok yang berpijak hanya pada kebenaran yang tinggi, dengan segala nilai, perspektif, dan norma intelektualitas yang melekat di dalamnya.

Kritik intelektual

Intelektual tidak boleh menjadi “cendekiawan bisu” yang tidak berpikir, bersikap, dan/atau bertindak atas situasi tidak adil, menindas, atau otoritatif.

Intelektual juga tidak boleh menjadi “cendekiawan palsu” yang pikiran, sikap, dan/atau tindakannya mengelabui publik dengan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru dengan menggunakan retorika kosong.

Adalah sah secara akademis dan moral, jika intelektual atau cendekiawan melakukan kritik atau protes atas situasi (politik, ekonomi, sosial, dll.) yang diyakini tidak adil, menindas, atau otoritatif berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.

Kritik atau protes merupakan salah satu fungsi kontrol utama seorang intelektual atau cendekiawan.

Dalam dialektika Hegel, kritik atau protes merupakan “antitesis” terhadap situasi yang ada (tesis) sehingga tercipta masyarakat sipil yang lebih benar, lebih adil, dan lebih egaliter (sintesis).

Kritik atau protes sebagai antitesis adalah produk intelektual yang harus dinyatakan atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip intelektual atau kecendekiaan, baik dalam bentuk pernyataan, tulisan, maupun tindakan.

Kritik merupakan salah bentuk partisipasi publik melalui analisis dan evaluasi kritis terhadap sesuatu dengan tujuan meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki dan meningkatkan kinerja.

Kritik merupakan dinamika kehidupan akademik yang wajar, dan tak perlu disikapi secara berlebihan. Apalagi si pengritik/pemrotes harus dipanggil polisi atau masuk penjara.

Terpenting, kritik atau protes perlu disampaikan dengan cara-cara yang bermartabat, didukung oleh fakta, disertai argumentasi yang logis dan sahih.

Selama itu dilakukan, tidak perlu ada kekhawatiran soal akibat hukum dari kritik/protes itu.

Menghadapi kritik/protes pun, tidak perlu harus menghadirkan "buzzer" untuk membalas kritikan, dan menguliti para pengritik (kritikus).

Terpenting, setiap kritik harus disertai dengan pemikiran tandingan atau bandingan sebagai solusinya, agar substansi yang menjadi sasaran kritik/protes tidak terjadi berulang.

Kearifan Vs keangkuhan

Sebagai produk intelektualitas, kritik atau protes intelektual harusnya arif dalam hal cara, media, dan kontennya. Kearifan/kebijaksanaan haruslah menjadi bagian integral dari kehidupan intelektual/kecendekiaan.

Kearifan/kebijaksanaan merupakan sistem pengetahuan ahli (wisdom as expert knowledge system) yang mendasari setiap pemikiran, sikap, tindakan atau perilaku kehidupan intelektual/cendekiawan.

Ada tiga dimensi yang harus dipenuhi dalam melakukan kritik/protes intelektual secara arif/bijak, yakni kognitif, reflektif, dan afektif (Ardelt, 2000, 2004).

Secara kognitif, kritik/protes intelektual didasarkan pada pengertian atas situasi yang menjadi objek kritik secara menyeluruh, beserta sisi positif dan negatif serta ketidakpastiannya bagi kemungkinan dirumuskan solusi alternatifnya.

Secara reflektif, kritik/protes intelektual didasarkan pada kemampuan dan kesadaran untuk mengkaji situasi yang menjadi objek kritik dari berbagai perspektif, serta menghindarkan diri untuk tidak melakukan tindakan proyeksi atau menyalahkan orang/kelompok lain atas dasar situasi, perasaan atau kebenaran diri-sendiri.

Secara afektif, kritik/protes intelektual didasarkan pada sikap dan perilaku positif untuk menyelesaikan masalah melalui solusi alternatif, dan bukan didasarkan atau disertai sikap acuh tak acuh atau negatif terhadap orang/kelompok lain.

Dengan kata lain, kritik atau protes intelektual yang arif setidaknya memiliki unsur-unsur valid, rasional, dan bermanfaat; sikap/perilaku prososial; menghadirkan pemecahan masalah sosial yang pragmatis tentang kehidupan; mampu mengontrol homeostasis emosional; pengertian-diri atau refleksi-diri; menjunjung tinggi nilai toleransi; serta pengakuan dan penanganan ketidakpartian/ambiguitas secara efektif.

Jika ketiga unsur kritik atau protes intelektual diabaikan, yang tercipta adalah kritik atau protes intelektual yang arogan, angkuh, dan congkak.

Arogansi intelektual merupakan seperangkat karakteristik yang cenderung membutakan seorang/kelompok untuk mengenali kebenaran yang bersifat multidimensi.

Hal ini tercipta oleh motif untuk mempertontonkan kekuatan atau keungggulan epistemik dan superioritas dirinya yang diklaim diatas/melebihi orang/kelompok lain.

Arogansi kritik atau protes juga kerap dilakukan dengan membuat klaim-klaim atau dalih-dalih akademik/ilmiah yang sejatinya adalah hanya untuk kepentingan atau hak pribadi/kelompok yang lebih tinggi; berdasarkan asumsi berlebihan dan belum teruji; kebanggaan dan superioritas diri/kelompok yang “insolent” dan narsistik (Sajwani, 2020).

Arogansi intelektual merupakan konfigurasi fenomena kognitif, motivasional, dan sosial. Ia terbentuk dari kombinasi antara kecacatan kognitif dalam menilai kemampuan dan kebajikan diri, dorongan untuk lebih unggul dari yang lain, serta aspirasi dan persepsi sosial tentang superioritas (Nelson Cowan dkk., 2021).

Lebih lanjut, Nelson membagi arogansi intelektual dalam 3 (tiga) tipe, yaitu individual, komparatif, dan antagonis dalam kehidupan intelektual.

Arogansi individual adalah arogansi yang didasarkan pada pendapat yang berlebihan tentang kemampuan, sifat, atau pencapaian diri dibandingkan dengan kebenaran objektif.

Arogansi komparatif adalah arogansi yang didasarkan pada pendapat dan penilaian atas peringkat kemampuan, sifat, atau prestasi diri yang ditempatkan lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain.

Arogansi antagonis adalah arogansi yang didasarkan pada fitnah atau ejekan kepada orang/kelompok lain berdasarkan asumsi superioritas.

Dalam kaitan ini, menjadi sangat jelas perbedaan atau demarkasi antara kritik/protes intelektual yang tercipta dari kearifan intelektual dengan kritik/protes yang bermuatan ujaran kebencian, hinaan, nyinyiran, fitnah, provokasi, hasutan, dan semacamnya yang bertendensi personal-subjektif yang tercipta dari arogansi intelektual.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Sekjen DPR Indra Iskandar Minta KPK Tunda Pemeriksaan

Nasional
Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Pansel Capim KPK Masih Digodok, Komposisinya 5 Unsur Pemerintah dan 4 Wakil Masyarakat

Nasional
Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Bukan Pengurus Pusat PDI-P, Ganjar Disarankan Bikin Ormas agar Tetap Eksis di Politik

Nasional
Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Korlantas Polri Kerahkan 1.530 Personel BKO untuk Agenda World Water Forum Bali

Nasional
Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Program Deradikalisasi BNPT Diapresiasi Selandia Baru

Nasional
Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Kirim Surat Tilang Lewat WA Disetop Sementara, Kembali Pakai Pos

Nasional
Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Polri Setop Sementara Kirim Surat Tilang Lewat WhatsApp, Bakal Evaluasi Lebih Dulu

Nasional
Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Selain Eko Patrio, PAN Juga Dorong Yandri Susanto Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Fahira Idris Kecam Serangan di Rafah, Sebut Israel dan Sekutu Aib Peradaban Umat Manusia

Nasional
PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

PELNI Buka Lowongan Kerja Nahkoda dan KKM Periode Mei 2024

Nasional
Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Ungkit Kasus Firli dan Lili, ICW Ingatkan Jokowi Tak Salah Pilih Pansel Capim KPK

Nasional
Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com