Intelektual tidak boleh menjadi “cendekiawan bisu” yang tidak berpikir, bersikap, dan/atau bertindak atas situasi tidak adil, menindas, atau otoritatif.
Intelektual juga tidak boleh menjadi “cendekiawan palsu” yang pikiran, sikap, dan/atau tindakannya mengelabui publik dengan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru dengan menggunakan retorika kosong.
Adalah sah secara akademis dan moral, jika intelektual atau cendekiawan melakukan kritik atau protes atas situasi (politik, ekonomi, sosial, dll.) yang diyakini tidak adil, menindas, atau otoritatif berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.
Kritik atau protes merupakan salah satu fungsi kontrol utama seorang intelektual atau cendekiawan.
Dalam dialektika Hegel, kritik atau protes merupakan “antitesis” terhadap situasi yang ada (tesis) sehingga tercipta masyarakat sipil yang lebih benar, lebih adil, dan lebih egaliter (sintesis).
Kritik atau protes sebagai antitesis adalah produk intelektual yang harus dinyatakan atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip intelektual atau kecendekiaan, baik dalam bentuk pernyataan, tulisan, maupun tindakan.
Kritik merupakan salah bentuk partisipasi publik melalui analisis dan evaluasi kritis terhadap sesuatu dengan tujuan meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki dan meningkatkan kinerja.
Kritik merupakan dinamika kehidupan akademik yang wajar, dan tak perlu disikapi secara berlebihan. Apalagi si pengritik/pemrotes harus dipanggil polisi atau masuk penjara.
Terpenting, kritik atau protes perlu disampaikan dengan cara-cara yang bermartabat, didukung oleh fakta, disertai argumentasi yang logis dan sahih.
Selama itu dilakukan, tidak perlu ada kekhawatiran soal akibat hukum dari kritik/protes itu.
Menghadapi kritik/protes pun, tidak perlu harus menghadirkan "buzzer" untuk membalas kritikan, dan menguliti para pengritik (kritikus).
Terpenting, setiap kritik harus disertai dengan pemikiran tandingan atau bandingan sebagai solusinya, agar substansi yang menjadi sasaran kritik/protes tidak terjadi berulang.
Sebagai produk intelektualitas, kritik atau protes intelektual harusnya arif dalam hal cara, media, dan kontennya. Kearifan/kebijaksanaan haruslah menjadi bagian integral dari kehidupan intelektual/kecendekiaan.
Kearifan/kebijaksanaan merupakan sistem pengetahuan ahli (wisdom as expert knowledge system) yang mendasari setiap pemikiran, sikap, tindakan atau perilaku kehidupan intelektual/cendekiawan.
Ada tiga dimensi yang harus dipenuhi dalam melakukan kritik/protes intelektual secara arif/bijak, yakni kognitif, reflektif, dan afektif (Ardelt, 2000, 2004).