Karena tidak ada jawaban tertulis, pada 5 Agustus 2023, Mayor Dedi bersama rekan-rekannya mendatangi Mapolrestabes Medan dan bertemu dengan Kasat Reskrim dan Kasat Intel.
"Di situ sempat terjadi perdebatan keras antara keduanya," ucap Agung.
Saat ini, Puspom TNI telah melimpahkan kasus penggerudukan ini ke Pusat Polisi Militer TNI Angkatan Darat (Puspomad).
Sementara, 13 prajurit lain yang ikut menggeruduk Mapolrestabes Medan masih didalami perannya.
Baca juga: Puspom TNI Ungkap Kronologi Penggerudukan ke Mapolrestabes Medan
Saat ini mereka masih diperiksa Polisi Militer Kodam (Pomdam) I/Bukit Barisan.
"Terkait dengan 13 rekannya, sesuai pengakuan DFH ada 13 (prajurit), tapi soal nanti mengembang lebih banyak lagi, mungkin pengembangan di Puspomad," ujar Agung.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai peristiwa penggerudukan tersebut bukan sekadar unjuk kekuatan.
Fahmi menyebut tindakan Mayor Dedi dan sejumlah prajurit adalah bentuk arogansi dan penyalahgunaan wewenang.
"Itu juga merupakan bentuk arogansi dan penyalahgunaan wewenang," kata Fahmi kepada Kompas.com, Jumat (11/8/2023).
Menurutnya, TNI sudah sepatutnya tak sekadar mendalami dugaan pelanggaran disiplin dan pidana Mayor Dedi yang unjuk kekuatan di Mapolrestabes Medan.
Fahmi mengatakan, TNI harus menelusuri dugaan praktik pelindungan terhadap tersangka pelaku tindak pidana umum berkedok pemberian bantuan hukum.
"Sekaligus apakah upaya yang dilakukan dengan cara merintangi proses hukum yang sedang berjalan dengan memaksakan penangguhan penahanan, itu dilakukan sendiri atau ada keterlibatan atasan dalam hal itu," terang Fahmi.
Fahmi menangkap keanehan atas singkatnya waktu permohonan bantuan hukum yang diajukan Mayor Dedi dan pengabulan penangguhan tersangka mafia tanah oleh Polrestabes Medan.
Fahmi mempertanyakan kajian apa yang membuat tersangka mafia tanah akhirnya mendapatkan bantuan hukum dari Mayor Dedi.
Apalagi, waktu permohonan dan pengabulan oleh Polrestabes Medan terbilang singkat.