MANUVER politik para calon presiden dan lika - liku permainan politik para elite jelang laga 2024 memang menarik untuk dicermati.
Mereka melakukan semua itu untuk memastikan beberapa hal, yakni mempersempit ceruk suara lawan politik, mengunci gerak politik lawan, mengamankan sebanyak mungkin suara calon pemilih, dan akhirnya memenangkan pemilihan.
Bahkan jika memungkinkan, kemenangan itu diraih hanya dalam satu kali putaran, walaupun sangat kecil peluangnya. Setidaknya, ke sanalah arah semua pergerakan politik yang mereka lakukan.
Namun dalam perspektif elektoral umum, urusan pemilihan umum dan pemilihan presiden sangatlah sederhana. Sebagaimana ditulis oleh pakar pemilihan dari Harvard University, Profesor Pippa Norris, pemilihan sejatinya dilakukan hanya untuk dua hal saja.
Pertama, untuk memajukan atau menempatkan calon pemimpin dan calon anggota legislatif terbaik plus berkualitas ke pentas kekuasaan.
Kedua, untuk menggantikan pemimpin petahana (incumbent) atau penerus incumbent yang dianggap tidak berkualitas bin tidak berbuat apa-apa selama duduk di singgasana kekuasaan.
Bahkan untuk fungsi kedua, Pippa Norris dalam bukunya Electoral Engineering (2004) menulis dengan kesan sangat kuat, yakni "To kick the rascals out" alias untuk menendang para politisi buruk dan tidak berkualitas agar keluar dari pentas politik.
Kedua fungsi pemilihan tersebut memang indah terdengar, tapi tidak mudah diwujudkan. Karena untuk bisa mencapai ke level itu, dibutuhkan pemilih yang terdidik dengan tingkat literasi politik yang mumpuni.
Pemilih harus memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup tentang politik di satu sisi serta informasi dan pengetahuan yang memadai tentang para calon pemimpin di sisi lain, yang bisa menepis segala bentuk berita bohong, hoaks, atau berbagai informasi polesan ala pencitraan kelas recehan.
Dengan kata lain, publik harus memiliki kekuatan argumentasi rasional dalam memajukan ataupun mempertahankan berbagai kepentingannya di hadapan kepentingan-kepentingan elitis pun oligarkis yang dikemas oleh para calon pemimpin ke dalam program dan rencana kebijakan.
Bahkan menurut Jurgen Habermas, filosof Jerman, kekuatan argumen yang bersandar pada rasionalitas tersebut sesungguhnya adalah roh bagi demokrasi itu sendiri.
Prinsip dasarnya, kata Habermas, kekuasaan di dalam sistem demokrasi bisa dianggap "legitimate" ketika semua keputusan yang diambil oleh pemangku kekuasaan lolos uji dalam diskursus publik sehingga dapat diterima secara intersubjektif oleh semua warga negara.
Jika dikaitkan dengan pemilihan, para calon pemimpin yang terpilih semestinya adalah calon pemimpin dengan track record, integritas, personalitas, program dan rencana kebijakannya telah lolos uji coba publik.
Artinya, mereka siap ditelanjangi oleh publik dari segala sisi dan siap segala ajuan programnya dibenturkan dengan kepentingan publik di sisi lain.
Namun hal tersebut tentu mengandaikan adanya warga negara yang rasional, cerdas, dan argumentatif dalam menguji dan memperbincangkan segala sesuatu tentang para calon pemimpin yang akan berlaga di pemilihan nanti.