Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Memupuk Kecerdasan Publik Menghadapi Tahun Politik

Kompas.com - 06/08/2023, 06:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MANUVER politik para calon presiden dan lika - liku permainan politik para elite jelang laga 2024 memang menarik untuk dicermati.

Mereka melakukan semua itu untuk memastikan beberapa hal, yakni mempersempit ceruk suara lawan politik, mengunci gerak politik lawan, mengamankan sebanyak mungkin suara calon pemilih, dan akhirnya memenangkan pemilihan.

Bahkan jika memungkinkan, kemenangan itu diraih hanya dalam satu kali putaran, walaupun sangat kecil peluangnya. Setidaknya, ke sanalah arah semua pergerakan politik yang mereka lakukan.

Namun dalam perspektif elektoral umum, urusan pemilihan umum dan pemilihan presiden sangatlah sederhana. Sebagaimana ditulis oleh pakar pemilihan dari Harvard University, Profesor Pippa Norris, pemilihan sejatinya dilakukan hanya untuk dua hal saja.

Pertama, untuk memajukan atau menempatkan calon pemimpin dan calon anggota legislatif terbaik plus berkualitas ke pentas kekuasaan.

Kedua, untuk menggantikan pemimpin petahana (incumbent) atau penerus incumbent yang dianggap tidak berkualitas bin tidak berbuat apa-apa selama duduk di singgasana kekuasaan.

Bahkan untuk fungsi kedua, Pippa Norris dalam bukunya Electoral Engineering (2004) menulis dengan kesan sangat kuat, yakni "To kick the rascals out" alias untuk menendang para politisi buruk dan tidak berkualitas agar keluar dari pentas politik.

Kedua fungsi pemilihan tersebut memang indah terdengar, tapi tidak mudah diwujudkan. Karena untuk bisa mencapai ke level itu, dibutuhkan pemilih yang terdidik dengan tingkat literasi politik yang mumpuni.

Pemilih harus memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup tentang politik di satu sisi serta informasi dan pengetahuan yang memadai tentang para calon pemimpin di sisi lain, yang bisa menepis segala bentuk berita bohong, hoaks, atau berbagai informasi polesan ala pencitraan kelas recehan.

Dengan kata lain, publik harus memiliki kekuatan argumentasi rasional dalam memajukan ataupun mempertahankan berbagai kepentingannya di hadapan kepentingan-kepentingan elitis pun oligarkis yang dikemas oleh para calon pemimpin ke dalam program dan rencana kebijakan.

Bahkan menurut Jurgen Habermas, filosof Jerman, kekuatan argumen yang bersandar pada rasionalitas tersebut sesungguhnya adalah roh bagi demokrasi itu sendiri.

Prinsip dasarnya, kata Habermas, kekuasaan di dalam sistem demokrasi bisa dianggap "legitimate" ketika semua keputusan yang diambil oleh pemangku kekuasaan lolos uji dalam diskursus publik sehingga dapat diterima secara intersubjektif oleh semua warga negara.

Jika dikaitkan dengan pemilihan, para calon pemimpin yang terpilih semestinya adalah calon pemimpin dengan track record, integritas, personalitas, program dan rencana kebijakannya telah lolos uji coba publik.

Artinya, mereka siap ditelanjangi oleh publik dari segala sisi dan siap segala ajuan programnya dibenturkan dengan kepentingan publik di sisi lain.

Namun hal tersebut tentu mengandaikan adanya warga negara yang rasional, cerdas, dan argumentatif dalam menguji dan memperbincangkan segala sesuatu tentang para calon pemimpin yang akan berlaga di pemilihan nanti.

Jadi dalam praksis demokrasi, terjadinya diskursus (adu argumentasi yang sehat dan objektif) dan tersedianya warga negara yang rasional dalam melahirkan diskursus jelang demokrasi elektoral dilangsungkan merupakan prasyarat bagi keberlangsungan tatanan demokrasi yang sehat.

Ruang publik adalah tempat di mana semua kebijakan pemerintah atau semua ajuan kebijakan para calon pemimpin diuji oleh warga negara, dalam artian pasif.

Dalam artian aktif, warga negara dengan kekuatan rasio dan argumentasi, juga bisa menyodorkan opini dan program kepada pemerintah atau kepada para calon pemimpin yang akan berlaga, tentunya melalui saluran-saluran demokrasi yang tersedia.

Ketika rasionalitas lebih mengemuka bersamaan dengan institusi-institusi demokrasi yang juga bekerja dengan baik, maka pertentangan opini antara para pendukung calon pemimpin di tengah masyarakat semestinya berjalan dinamis, penuh warna dan menggairahkan.

Perdebatan yang sehat akan melahirkan gagasan brilian untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, rasionalitas sejatinya adalah anak kandung demokrasi.

Demokrasi berjalan sehat ketika terjadi persaingan ide dan program, yang berbasis pada kekuatan argumentasi nan rasional-logis, tentu dalam upaya mewujudkan cita-cita demokrasi, yaitu demi kesejahteraaan rakyat yang seluas-luasnya.

Arti lainnya, demokrasi bisa menjadi nihil tanpa rasionalitas. Rasionalitas pun sulit berkembang dalam dunia politik tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa rasionalitas akan terjerumus kepada diktatoriat dan fasisme.

Dalam pemerintahan diktator yang berlaku adalah kekuasaan absolut, memaksa, dan menindas. Tidak ada tempat bagi suara-suara kritis yang dimaksudkan untuk mengritik pemerintah.

Dalam fasisme yang dituntut adalah kepatuhan. Ide dan argumentasi tak dibutuhkan. Rakyat boleh berpendapat kalau diminta, tapi ide tersebut tidak boleh dilempar ke publik kecuali sudah disetujui oleh pihak yang berkuasa.

Oleh karena itu, demokrasi yang benar-benar substantif seperti itulah yang harus diperjuangkan oleh kita semua, terutama oleh para calon pemimpin yang akan berlaga pada tahun politik 2024 nanti.

Pasalnya, iklim demokrasi yang memberi ruang pada pertukaran gagasan yang sehat, terbuka, dan akuntabel, akan memungkinkan terjadinya demokrasi berbasis kecerdasan publik yang matang dan berkualitas.

Kualitas kecerdasan publik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana setiap warga mengerahkan segenap potensi kognitifnya dalam mengambil keputusan (decision making process).

Sebagaimana ditulis oleh filosof Amerika John Dewey bahwa yang terpenting dalam suatu rezim demokrasi bukanlah hasil akhir keputusan, melainkan proses terjadinya dialektika pertukaran gagasan yang mengantarkan pada pilihan warga yang sudah teruji.

Inilah sebenarnya inti persoalan demokrasi kita. Demokrasi di negeri kita nampaknya baru sebatas demokrasi mayoritarian, bukan demokrasi yang mencerminkan kecerdasan publik dalam pengertian sesungguhnya.

Dalam konstruksi demokrasi semacam ini, pilihan warga sering kali ditentukan oleh hal-hal lain di luar aspek rasionalitas, seperti perasaan suka atau tidak suka, favoritisme, dan primordialisme, termasuk gangguan dari para buzzer-buzzer yang melebih-lebihkan fakta politik yang ada.

Dalam demokrasi berbasis kecerdasan publik, kualitas pilihan ditentukan oleh ketundukan rasional-kognitif warga pada hal-hal yang bekerja di atas prinsip kemasukakalan (commonsensicality).

Dengan begitu, segala kemustahilan dan kebohongan yang berbalut kesan-kesan positif secara berlebihan dari para kandidat akan dengan sendirinya ditelanjangi oleh publik.

Pendek kata, para intelektual publik dan berbagai elemen masyarakat sipil harus terus berjuang sekuat tenaga untuk menebar literasi politik ke ruang publik untuk meningkatkan "political awareness" dan pengetahuan politik publik agar segala kemustahilan dan janji-janji tak rasional yang disampaikan oleh para kandidat presiden bisa dinilai dan dikuliti secara objektif di ruang publik.

Dan hasil akhir yang diharapkan adalah hadirnya seorang pemimpin atau presiden terpilih yang benar-benar dipilih berdasarkan keinginan rakyat banyak, bukan direkayasa untuk terpilih oleh segelintir elite yang takut kehilangan berbagai "privilege" (hak istimewa sosial) dari penguasa politik.

Itu semua bisa terjadi jika, pertama, masyarakat memiliki informasi dan pengetahuan tentang para kandidat, mulai dari track record, reputasi, karakter pribadi, gaya politik, adab berpolitik, ide politik, visi misi politik, kapasitas kepemimpinan, kapasitas managerial, dan lainnya.

Kedua, masyarakat memiliki kecerdasan intelektual dan kepekaan emosional dalam menilai serta mengevaluasi semua informasi dan pengetahunan tersebut.

Masyarakat pemilih bisa memproyeksikan masa lalu seorang calon presiden kepada arah politik yang akan ia ambil setelah terpilih, misalnya.

Atau masyarakat bisa membedakan karakter asli seorang calon pemimpin dibanding dengan karakter yang ia munculkan di ruang publik di saat kampanye.

Atau pula masyarakat bisa membedakan mana ide-ide atau rencana kebijakan dari calon pemimpin yang irasional dan terlalu melangit dan mana yang masuk akal serta berpeluang untuk diwujudkan.

Pun masyarakat bisa membedakan mana calon pemimpin yang berusaha keras menemukan ide-ide solutif untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada di Indonesia dan mana calon pemimpin yang hanya mengekor kepada pemimpin terdahulu secara taken for granted, alias minus kreatifitas. Dan lain-lain. Semoga!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

100.000-an Jemaah Umrah Belum Kembali, Beberapa Diduga Akan Berhaji Tanpa Visa Resmi

Nasional
KPU Bantah 16.000 Lebih Suara PPP Hilang di Sumut

KPU Bantah 16.000 Lebih Suara PPP Hilang di Sumut

Nasional
Tata Kelola Makan Siang Gratis

Tata Kelola Makan Siang Gratis

Nasional
Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Sandiaga Sebut Pungli di Masjid Istiqlal Segera Ditindak, Disiapkan untuk Kunjungan Paus Fransiskus

Nasional
Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Pakar Ingatkan Jokowi, Pimpinan KPK Tidak Harus dari Kejaksaan dan Polri

Nasional
Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Kritik Haji Ilegal, PBNU: Merampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Jokowi Puji Pelayanan Kesehatan di RSUD Baharuddin Kabupaten Muna

Nasional
KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Gus Muhdlor Senin Hari Ini

Nasional
Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Jasa Raharja Santuni Semua Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang  

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Soal Waktu, Komunikasi Tidak Mandek

Nasional
Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Bus Rombongan Siswa SMK Terguling di Subang, Kemendikbud Minta Sekolah Prioritaskan Keselamatan dalam Berkegiatan

Nasional
Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Saat DPR Bantah Dapat Kuota KIP Kuliah dan Klaim Hanya Distribusi...

Nasional
Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Hari Kedua Kunker di Sultra, Jokowi Akan Tinjau RSUD dan Resmikan Jalan

Nasional
Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi 'King Maker' atau Maju Lagi

Serba-serbi Isu Anies pada Pilkada DKI: Antara Jadi "King Maker" atau Maju Lagi

Nasional
Diresmikan Presiden Jokowi, IDTH Jadi Laboratorium Pengujian Perangkat Digital Terbesar dan Terlengkap Se-Asia Tenggara

Diresmikan Presiden Jokowi, IDTH Jadi Laboratorium Pengujian Perangkat Digital Terbesar dan Terlengkap Se-Asia Tenggara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com