Jadi dalam praksis demokrasi, terjadinya diskursus (adu argumentasi yang sehat dan objektif) dan tersedianya warga negara yang rasional dalam melahirkan diskursus jelang demokrasi elektoral dilangsungkan merupakan prasyarat bagi keberlangsungan tatanan demokrasi yang sehat.
Ruang publik adalah tempat di mana semua kebijakan pemerintah atau semua ajuan kebijakan para calon pemimpin diuji oleh warga negara, dalam artian pasif.
Dalam artian aktif, warga negara dengan kekuatan rasio dan argumentasi, juga bisa menyodorkan opini dan program kepada pemerintah atau kepada para calon pemimpin yang akan berlaga, tentunya melalui saluran-saluran demokrasi yang tersedia.
Ketika rasionalitas lebih mengemuka bersamaan dengan institusi-institusi demokrasi yang juga bekerja dengan baik, maka pertentangan opini antara para pendukung calon pemimpin di tengah masyarakat semestinya berjalan dinamis, penuh warna dan menggairahkan.
Perdebatan yang sehat akan melahirkan gagasan brilian untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, rasionalitas sejatinya adalah anak kandung demokrasi.
Demokrasi berjalan sehat ketika terjadi persaingan ide dan program, yang berbasis pada kekuatan argumentasi nan rasional-logis, tentu dalam upaya mewujudkan cita-cita demokrasi, yaitu demi kesejahteraaan rakyat yang seluas-luasnya.
Arti lainnya, demokrasi bisa menjadi nihil tanpa rasionalitas. Rasionalitas pun sulit berkembang dalam dunia politik tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa rasionalitas akan terjerumus kepada diktatoriat dan fasisme.
Dalam pemerintahan diktator yang berlaku adalah kekuasaan absolut, memaksa, dan menindas. Tidak ada tempat bagi suara-suara kritis yang dimaksudkan untuk mengritik pemerintah.
Dalam fasisme yang dituntut adalah kepatuhan. Ide dan argumentasi tak dibutuhkan. Rakyat boleh berpendapat kalau diminta, tapi ide tersebut tidak boleh dilempar ke publik kecuali sudah disetujui oleh pihak yang berkuasa.
Oleh karena itu, demokrasi yang benar-benar substantif seperti itulah yang harus diperjuangkan oleh kita semua, terutama oleh para calon pemimpin yang akan berlaga pada tahun politik 2024 nanti.
Pasalnya, iklim demokrasi yang memberi ruang pada pertukaran gagasan yang sehat, terbuka, dan akuntabel, akan memungkinkan terjadinya demokrasi berbasis kecerdasan publik yang matang dan berkualitas.
Kualitas kecerdasan publik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana setiap warga mengerahkan segenap potensi kognitifnya dalam mengambil keputusan (decision making process).
Sebagaimana ditulis oleh filosof Amerika John Dewey bahwa yang terpenting dalam suatu rezim demokrasi bukanlah hasil akhir keputusan, melainkan proses terjadinya dialektika pertukaran gagasan yang mengantarkan pada pilihan warga yang sudah teruji.
Inilah sebenarnya inti persoalan demokrasi kita. Demokrasi di negeri kita nampaknya baru sebatas demokrasi mayoritarian, bukan demokrasi yang mencerminkan kecerdasan publik dalam pengertian sesungguhnya.
Dalam konstruksi demokrasi semacam ini, pilihan warga sering kali ditentukan oleh hal-hal lain di luar aspek rasionalitas, seperti perasaan suka atau tidak suka, favoritisme, dan primordialisme, termasuk gangguan dari para buzzer-buzzer yang melebih-lebihkan fakta politik yang ada.