JAKARTA, KOMPAS.com - Selepas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, kondisi sosial, politik, serta pertahanan dan keamanan belum stabil.
Selain itu, pemerintah Belanda juga berupaya kembali menduduki wilayah jajahannya setelah Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu.
Hal itu memicu berbagai gejolak di masyarakat. Pada masa itu juga terjadi berbagai konflik berdarah antara gerilyawan dan pasukan Republik Indonesia melawan tentara Belanda.
Salah satu opsir Belanda yang disegani oleh pejuang Indonesia adalah Kapten Raymond Pierre Paul Westerling. Dia mendapat julukan de Turk atau Turco karena tumbuh besar di Turki.
Baca juga: Alasan Pemberontakan Westerling Memakai Nama Perang Ratu Adil
Ayahnya adalah warga Belanda, Paul Westerling, yang berprofesi sebagai pedagang barang antik. Sedangkan sang ibu, Sophia Moutzou, adalah putri dari keluarga terpandang keturunan Yunani.
Westerling mempunyai seorang kakak perempuan bernama Palmyra. Mulanya orang tua serta kakaknya tak setuju Westerling menjadi tentara.
Akan tetapi, sebagai lelaki muda yang ketika itu mempunyai semangat menggebu maka Westerling nekat melamar menjadi tentara dan lolos.
Karena negeri leluhurnya, Belanda, saat itu dijajah Nazi Jerman, Westerling terbang ke Inggris buat berlatih menjadi tentara dan berhasil lolos kualifikasi komando.
Westerling kemudian dikirim ke Eropa buat melawan Nazi Jerman. Setelah Jerman kalah, dia ditarik ke Sri Lanka dan Indonesia.
Baca juga: Raymond Westerling, Hitler dari Belanda
Dalam buku Westerling, Kudeta yang Gagal (2007), kekejaman Westerling dan pasukannya di beberapa daerah merenggut nyawa puluhan ribu nyawa rakyat dan pejuang.
Westerling diberi tugas mengamankan wilayah Sulawesi Selatan sekitar 1946 sampai 1947.
Menurut penelitian TNI, sekitar 1.700 warga dan pejuang setempat meninggal akibat aksi brutal Westerling bersama pasukannya.
Sedangkan menurut versi militer Belanda, Westerling dan pasukannya merenggut nyawa 1.000 pejuang dan 1.000 warga sipil yang diduga terlibat aksi perlawanan atau dijuluki ekstremis.
Yang dilakukan Westerling buat menghadapi perlawanan para pejuang di Sulawesi Selatan adalah dengan membentuk Mahkamah Militer Rakyat.
Baca juga: Cerita Abdul Halik Saksikan Langsung Ayahnya Dibunuh Anak Buah Westerling
Caranya adalah dia mengumpulkan penduduk di sebuah lapangan kemudian mengancam mereka dengan senjata api buat menunjukkan siapa saja pihak-pihak yang menjadi milisi atau gerilyawan.
Alhasil penduduk yang diancam dengan senjata api pun ketakutan dan menunjuk secara asal-asalan supaya mereka selamat. Orang yang ditunjuk itu kemudian dieksekusi di tempat.
Bahkan terkadang Westerling mempertunjukkan kemahirannya dalam menembak. Caranya adalah memberikan kesempatan kepada orang yang disebut sebagai pejuang buat lari menjauh.
Kemudian Westerling mencabut senjata api dan membidik orang itu, kemudian menembaknya tepat di kepala.
Westerling dan pasukannya juga sering berkeliling kota buat patroli menggunakan jip. Saat itu dia juga menembaki orang yang dia curigai sebagai pejuang dari jip yang sedang berjalan.
Baca juga: Cerita Abdul Halik Saksikan Langsung Ayahnya Dibunuh Anak Buah Westerling
Menurut sejumlah saksi, Westerling memang penembak ulung karena kerap menembak sasaran yang berada di kerumunan tanpa melukai orang lain.
Westerling juga menghabisi 2 orang bangsawan Bugis yang dituduh menjadi pendukung pejuang kemerdekaan. Kedua bangsawan itu adalah Raja Suppa Muda dan pamannya, Raja Suppa Tua.
Akan tetapi, masyarakat setempat memperingatkan Westerling supaya tidak membunuh keduanya karena mereka memegang teguh ajaran adat yakni darah bangsawan tidak boleh mengalir. Alhasil Westerling memilih menenggelamkan keduanya.
Setelah itu, Westerling lalu ditarik dari Sulawesi Selatan ke Jakarta dan ditugaskan memimpin korps pasukan khusus Depot Speciale Tropen (DST) antara 1947 sampai 1948.
Baca juga: Kisah Amin Daud Korban Pembantaian Westerling: Tahanan Diikat, Diberondong Tembakan
Akan tetapi, dia menolak untuk memimpin pasukan payung buat menguasai Yogyakarta yang saat itu menjadi Ibu Kota Republik Indonesia.
Menurut Westerling, dengan penyerbuan ke Yogyakarta memang Belanda akan mendapat kemenangan militer, tetapi secara politik justru merugikan. Akibat perbedaan pendapat itu, dia berdebat keras dengan Panglima Angkatan Perang Kerajaan Belanda untuk Hindia-Belanda, Letjen Hendrik Simon Spoor.
Alhasil, Westerling yang saat itu berpangkat Kapten memilih mengundurkan diri dan pimpinan pasukan diserahkan kepada Letkol van Beek pada 11 November 1948.
Akan tetapi, akibat taktiknya yang kejam selama melakukan kampanye militer di Sulawesi Selatan, kalangan politikus dan pers di Negeri Kincir Angin mengecam perbuatan Westerling.
Baca juga: Kontroversi De Oost, Film Belanda yang Berani Mengorek Kekejaman Westerling
Mereka juga mendesak Angkatan Perang Kerajaan Belanda memecat Westerling dari dinas militer. Akhirnya permintaan itu dituruti dan Westerling dicopot dari dinas militer di markas pasukan khusus Kerajaan Belanda di Batujajar, Jawa Barat, pada tahun itu juga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.