Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Westerling Menantang Diadili Atas Pembantaian di Sulawesi Selatan...

Kompas.com - 18/02/2022, 23:06 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Sikap Pemerintah Belanda yang mengakui melakukan kekerasan ekstrem dan sistematis dalam selama perang kemerdekaan Indonesia bakal mengisi lembaran baru sejarah.

Pernyataan permintaan maaf itu disampaikan oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada Kamis (17/2/2022). Dia menyampaikan hal itu setelah dalam kajian terbaru yang dilakukan selama empat tahun oleh peneliti Belanda dan Indonesia, ditemukan bahwa pasukan Belanda membakar desa-desa dan melakukan penahanan massal, penyiksaan, dan eksekusi selama konflik 1945-1949.

Dalam studi tersebut peneliti menyebut bahwa pihak Belanda mulai dari politikus, pejabat, pegawai negeri, hakim, dan sebagainya mengetahui tentang kekerasan ekstrem dan sistematis itu.

Kejahatan perang pertama kali diungkapkan oleh seorang mantan veteran Belanda pada 1969, tetapi sejak saat itu pandangan resmi adalah bahwa meskipun "berlebihan" mungkin terjadi, pasukan Belanda secara keseluruhan berperilaku dengan benar.

Baca juga: Raymond Westerling, Hitler dari Belanda

Aksi kekerasan militer Belanda di Indonesia dikumpulkan dalam dokumen dan kumpulan arsip kejahatan perang Belanda yang diberi judul Excessennota. Laporan itu disusun pada 1969 oleh Cees Fasseur.

Menurut laporan itu ada sekitar 76 kasus kekerasan atau kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia pada masa revolusi, antara lain di Rawagede, Sulawesi Selatan, dan Madura.

Khusus untuk peristiwa di Sulawesi Selatan, yang menjadi sorotan adalah sepak terjang Kapten Raymond Pierre Paul Westerling. Lelaki itu terkenal karena aksinya melakukan eksekusi terhadap ribuan orang di Sulawesi Selatan yang dianggap sebagai pejuang kemerdekaan antara 1946 sampai 1947.

Westerling kemudian kembali dipercaya memimpin korps pasukan elite Depot Speciale Tropen antara 1947 sampai 1948. Setelah itu dia memilih berhenti menjadi tentara.

Baca juga: Mengingat Pembantaian Westerling yang Dilakukan Belanda 73 Tahun Lalu

Setelah menjadi warga sipil, Westerling kemudian bermukim di daerah Cililin dan Pacet, Jawa Barat. Westerling kemudian menikah dengan seorang perempuan Indonesia keturunan Prancis, Yvone Fournier.

Ketika menetap di Jawa Barat, Westerling kemudian menjadi pengusaha angkutan yakni truk khusus pengangkut hasil bumi. Namun, di sana dia juga merencanakan kudeta dengan membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).

Rencana kudeta itu gagal dan kemudian Westerling kabur ke Jakarta dan sembunyi di sejumlah lokasi. Dia kemudian diselundupkan ke luar negeri dan kembali pulang ke Belanda.

Baca juga: Kesaksian Korban Pembantaian Westerling yang Tewaskan 40.000 Jiwa

Perbuatannya dalam peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan membuat Westerling menjadi sosok kontroversial. Sebab apa yang dia lakukan tergolong sebagai kejahatan perang dan seharusnya diadili.

Pada 1979, kasus pembantaian oleh Westerling itu kembali dibicarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saat itu seorang anggota Komisi III DPR fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) VB da Costa mengatakan Westerling menantang untuk diadili atas perbuatannya di Indonesia.

Menurut da Costa, dia mengetahui hal itu setelah membaca laporan surat kabar Belanda. Dalam artikel itu ditulis Westerling menanggapi pernyataan da Costa yang meminta Pemerintah Indonesia mengekstradisi dan mengadili Westerling.

Alasan da Costa meminta pemerintah mengadili Westerling supaya tuduhan penjahat perang yang disematkan kepada sang mantan tentara itu terungkap. Selain itu, pengadilan terhadap Westerling diperlukan guna menguak fakta sejarah.

Baca juga: Kontroversi De Oost, Film Belanda yang Berani Mengorek Kekejaman Westerling

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

DKPP Verifikasi Aduan Dugaan Ketua KPU Goda Anggota PPLN

Nasional
Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Nasional
KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

Nasional
Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Nasional
DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

Nasional
Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasional
Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Nasional
Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa 'Abuse of Power'

PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa "Abuse of Power"

Nasional
PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Nasional
Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com