Bisa memproduksi kekerasan verbal, misalnya, melalui kata-kata yang merendahkan, menghina, mengancam, atau menyudutkan.
Realitas buruk juga bisa disembunyikan dengan bahasa, dan dicitrakan baik melalui teknik eufemisme. Kata “pelacur” dianggap menampilkan realitas buruk, lalu disembunyikan dengan mengganti kata “pelacur” dengan kata “pekerja seks komersial (PSK)”.
Di zaman Orde Baru tak dikenal kata “korupsi”. Apa tak ada tindakan yang bermakna korupsi? Tentu saja ada, tapi dihaluskan dengan menyebutnya “penyalahgunaan wewenang”.
Kepentingan jahat dan niat busuk bisa dibungkus dengan bahasa yang santun dan indah. Itulah rekayasa bahasa. Kata dijauhkan dari maknanya, dengan cara dimanipulasi, dibelokkan, diganti dengan menunjuk realitas lain.
Itulah korupsi makna dengan tujuan tertentu, termasuk mengambil, mencuri, menggarong kekayaan negara, yang populer disebut korupsi.
Sejak reformasi banyak kebijakan dirancang dengan kata-kata yang terkesan merakyat dan bermakna keadilan sosial.
Beragam program dikreasi dengan kata-kata populis seperti “hibah”, “bantuan”, “pemberdayaan”, “rehabilitasi”, “revitalisasi”, “percepatan”, “penguatan”, dan sebagainya.
Kata-kata populis itu menimbulkan kesan bahwa penyelenggara negara benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat demi keadilan sosial. Bekerja sesuai tuntutan reformasi.
Tapi, kenyataannya? Sudah banyak penyelenggara negara tersesat dan masuk bui gara-gara kata “hibah” dan kata-kata populis lainnya.
Menurut KBBI, hibah adalah pemberian (dengan sukarela) dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain. Ada unsur sukarela, meski diberi tanda kurung. Tak ada hukum timbal-balik bahwa pemberian tersebut mewajibkan imbalan.
Namun, dalam praktik kata “hibah” mengalami korupsi makna. Kata “hibah” digunakan untuk menandai program tertentu berupa pemberian sesuatu kepada rakyat oleh pemerintah dari sumber dana pemerintah. Niat pemerintah melalui program itu sukarela, tak mewajibkan imbalan.
Ternyata sebaliknya, banyak program hibah “mewajibkan imbalan” dari si penerima hibah. Mereka “dipaksa” rela menerima hibah yang nilainya tidak utuh, alias dipotong, dengan berbagai alasan.
Atau, dibuat penerima fiktif. Hasil dari pemotongan atau penerimaan dari penerima fiktif itu masuk kantong penyelenggara negara.
Ada pembelokan makna, korupsi makna, dengan sengaja. Kata dibuat menjauh dari realitas yang semestinya.
Program dengan kata-kata populis itu lalu menjauh dari makna populismenya. Bahasanya populis, tapi maknanya elitis.