KINI korupsi makin canggih. Mengintip dan menyergap siapa saja, baik penyelenggara negara maupun kalangan lain.
Ajaran agama, filsafat, kearifan lokal, teori-teori sosial dan kemanusiaan seperti tak berdaya untuk menghentikannya.
Yang membuat kita terkesima dan makin prihatin bukan cuma pelaku dan besarannya, tapi modus, cara, dan teknologinya.
Yang dicuri dan diselewengkan bukan lagi uang recehan, atau korupsi skala kecil-kecilan, atau korupsi biasa. Namun, sudah “mega” atau bahkan “giga-korupsi”.
Caranya sangat canggih, di antaranya melalui rekayasa bahasa. Memang tak ada peristiwa berlangsung tanpa bahasa. Termasuk korupsi.
Coba lihat yang baru saja heboh di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto tersandung kata “dako”.
Mereka diduga melakukan korupsi lantaran kata “dako” yang merupakan singkatan dari “dana komando”.
Ternyata kata “dako” juga menjerat sejumlah orang pada kasus pengadaan helikopter Augusta Westland (AW)-101 (Kompas.com, 7/11/2022).
Sebagian pembaca mungkin belum lupa istilah “apel malang” dan “apel washington”. Dua gabungan kata tersebut pernah menggegerkan jagad politik, karena menyeret nama terkenal saat itu, Angelina Sondakh.
Ternyata yang dimaksud “apel malang” bukan buah apel dari daerah Malang yang biasanya berwarna hijau kekuningan, melainkan mata uang rupiah.
Sementara yang dimaksud “apel washington” juga bukan buah apel dari Washington, Ibu Kota Amerika Serikat (AS), yang biasanya berwarna kemerahan, melainkan mata uang dollar AS.
Kata-kata tersebut dengan jelas menyembunyikan realitas. Begitu jauh makna leksikal dengan makna yang dibangun di kalangan penggunanya.
Coba buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Tak akan ditemukan gabungan kata “dana komando” yang maksudnya pemberian suap kepada pejabat atas kegiatan tertentu. Karena pejabat yang dimaksud adalah militer, dipakailah istilah “komando”.
Di KBBI, juga di masyarakat bahasa Indonesia, tak ditemukan gabungan kata “apel malang” yang berarti mata uang rupiah. Pun “apel washington” yang bermakna mata uang dollar AS.
Tapi, begitulah bahasa, tak bebas dari kepentingan penggunanya. Pengguna dapat memproduksi bahasa sesuai selera dan kepentingannya.