"Ini menghidupkan kembali status anggota TNI sebagai warga negara kelas satu dan merupakan wujud inkonsistensi kebijakan," kata Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, secara daring dalam diskusi terbuka sejumlah elemen masyarakat sipil di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (30/7/2023).
"Prajurit TNI aktif boleh duduk di jabatan sipil, tapi ketika korupsi tidak mau tunduk pada hukum sipil. Ini inkonsistensi kebijakan," ujarnya lagi.
Usman menjelaskan, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebetulnya mengatur bahwa jabatan sipil hanya dapat diduduki prajurit yang sudah pensiun atau mundur. Hal itu termaktub dalam Pasal 47 ayat (1).
Namun, pada ayat (2), UU TNI mengatur ada sejumlah jabatan sipil yang diperbolehkan diisi prajurit aktif.
Antara lain kantor yang berkenaan dengan politik dan keamanan negara, pertahanan, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (sar) nasional, narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Meski demikian, hal ini bukan berarti mengisyaratkan jabatan tersebut harus berasal dari unsur tentara.
Di samping itu, Pasal 47 ayat (3) beleid yang sama menegaskan bahwa prajurit yang duduk di beberapa lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan itu.
Usman menegaskan bahwa Basarnas adalah lembaga dengan jabatan sipil. Oleh karena itu, kasus hukum yang menjerat pejabat Basarnas semestinya tunduk pada peradilan sipil.
Apalagi, Pasal 42 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa lembaga antirasuah itu "berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum".
Pasal 65 ayat (2) UU TNI juga menegaskan bahwa prajurit hanya tunduk kepada kekuasaan peradilan militer "dalam hal pelanggaran hukum pidana militer".
Sejauh ini, anggapan bahwa Henri dan Afri harus diproses secara militer berangkat dari Pasal Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Usman menilai, beleid ini seharusnya sudah dikesampingkan oleh berbagai undang-undang yang lebih baru di atas.
Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, juga berpendapat senada. Ia menilai, kasus ini harus dijadikan evaluasi keterlibatan TNI di ranah sipil.
"Kalau militer tetap menganggap dirinya militer di mana pun berada, ya malau begitu kita harus persempit ruangnya," ujar Ray dalam kesempatan yang sama.
(Penulis: Nirmala Maulana Achmad, Vitorio Mantalean, Ardito Ramadhan, Dian Erika Nugraheny | Editor: Novianti Setuningsih, Diamanty Meiliana, Fitria Chusna Farisa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.