Sudah sejak lama, anak muda diberi tanggung jawab dengan jargon sebagai agent of change, tapi ruang keterlibatan mereka dibatasi.
Dalam kontestasi politik, misalnya, tidak adanya kebijakan afirmasi (undang-undang partai politik dan pemilu) membuat tidak ada kewajiban bagi partai politik memasukkan anak muda dalam kepengurusan, atau daftar caleg dan calon pemimpin negeri.
Maka dapat dipastikan sangat kecil kemungkinan anak muda menjadi subyek dalam kontestasi politik (setidaknya tahun 2024 mendatang), karena faktanya demokrasi elektoral (Pemilu) sebagai satu-satunya cara konstitusional untuk mengganti pemimpin tidak terjangkau akibat mahal.
Setiap calon perlu menyediakan modal (jejaring hingga finansial) untuk mendapat kepercayaan, baik dari partai maupun konstituen.
Pada sisi lain, saat demokrasi tidak memberi ruang cukup bagi anak muda untuk terlibat, demokrasi viral menjadi salah satu jawabannya.
Media sosial menjadi jawaban atas mandeknya saluran demokrasi yang belum secara optimal disediakan oleh negara kepada anak muda.
Tidak hanya menjadi media diskusi dan protes pada tata kelola negara secara terbuka, kekuatan media sosial juga mampu ‘memaksa’ penyelenggara negara merespons permasalahan yang viral.
Dunia maya bahkan mampu menjadi sarana efektif terjadinya interaksi antara masyarakat dengan wakilnya di pemerintah, serta mengurai rumitnya birokratis di dunia nyata kalau anak muda mau bertemu dengan pemimpinnya.
Banyak kasus-kasus yang awalnya tidak direspons kemudian menjadi perhatian dan prioritas untuk diselesaikan oleh penegak hukum.
Namun demikian, pemerintah tidak dapat selamanya bergantung pada penanganan masalah yang viral di media sosial. Terlebih, saat ini semakin menguat ketakutan netizen terhadap ancaman pasal-pasal menjerakan, dan negara dapat sewaktu-waktu menonaktifkan akun-akun yang kritis.
Selain itu, kekuatan modal yang kini mengokupansi demokrasi elektoral juga hadir di ruang demokrasi viral.
Industri buzzer atau pendengung telah memengaruhi konstelasi dunia maya. Politisi tidak segan mengeluarkan biaya besar membayar para pendengung agar viral dan mendapat simpati publik, terlebih menjelang Pemilu.
Setelah semakin tersisih di demokrasi elektoral, kini anak muda juga terancam di ruang demokrasi viral oleh ketakutan dan besarnya modal finansial.
Untuk itu, negara harus memberi ruang afirmasi kepada anak muda di demokrasi elektoral, dan menghapus aturan absurd yang mengganggu kebebasan serta daya kritis anak muda di ruang demokrasi viral.
Pada awal reformasi, perempuan pernah menjadi kelompok rentan dalam demokrasi dan baru mendapat akses serta keterwakilan pascakebijakan afirmasi (UU Partai Politik dan UU Kepemiluan).
Akan jadi ironis di negeri demokrasi ketiga terbesar di dunia, jika implementasi demokrasinya justru menciptakan kelompok rentan baru yang notabene adalah pemilik mayoritas suara, yakni anak muda.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.