Salin Artikel

Sampai Kapan Anak Muda Jadi Liyan Dalam Demokrasi?

Sebagai generasi penerus yang akan mewarisi negeri, anak muda merupakan pihak paling dirugikan dari kondisi demokrasi saat ini.

Mirisnya, ancaman ini justru terjadi saat Indonesia mengalami bonus demografi, jumlah anak muda menjadi mayoritas. Bahkan pada Pemilu 2024, diperkirakan 60 persen dari total pemilih adalah anak muda rentang usia 17 – 39 (DPT4 KPU).

Persoalan mendasar

Alih-alih menunjukan praktik-praktik demokratis dan memberikan contoh baik bagi anak muda, pemimpin negeri ini justru cenderung kerap menunjukan penyelewengan implementasi demokrasi demi kepentingan segelintir orang dan golongan.

Praktik undemocratic dilakukan oleh institusi-institusi produk dari demokrasi. Di parlemen, misalnya, mereka kerap mengesampingkan partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang.

Bahkan dalam rapat dengar pendapat yang disiarkan secara langsung, anggota komisi III dengan terang-terangan menyebut keputusan pengesahan UU ada di tangan ketua umum parpol.

Lalu apa definisi wakil rakyat yang selama ini disematkan kepada mereka yang terhormat?

Situasi tak beda juga terjadi di pemerintah. Menguatnya tindakan represif pemerintah terhadap protes yang dilakukan rakyatnya menjadikan warga jera dan bertanya-tanya, benarkah demokrasi masih menjunjung tinggi kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum?

Di kalangan penegak hukum, banyak oknum pejabat terjerat kasus-kasus yang meruntuhkan wibawa hukum di mata masyarakat.

Belum lagi adanya dugaan oknum aparat penegak hukum yang berkongsi dengan oknum pengusaha dan penguasa untuk kepentingan kelompok.

Kondisi ini mengakibatkan anak muda mulai antipati terhadap demokrasi.

Survey CSIS (2022) menunjukan adanya penurunan dukungan anak muda terhadap demokrasi. Tahun 2018, angka dukungan anak muda terhadap implementasi demokrasi sebesar 68,5 persen menjadi 63,8 persen tahun 2022.

Survei serupa juga menyebut hanya 1,1 persen dari anak muda yang ingin masuk partai politik, satu-satunya institusi yang punya legitimasi mengajukan figur calon pemimpin tertinggi di negeri ini.

Elektoral VS viral

Nasib anak muda dalam konstelasi demokrasi di Indonesia berpotensi menjadi buih di samudera, banyak tetapi tidak memiliki peran signifikan.

Faktor penyebab utamanya karena belum dibukanya saluran partisipasi anak muda terhadap proses demokrasi yang terjadi.

Sudah sejak lama, anak muda diberi tanggung jawab dengan jargon sebagai agent of change, tapi ruang keterlibatan mereka dibatasi.

Dalam kontestasi politik, misalnya, tidak adanya kebijakan afirmasi (undang-undang partai politik dan pemilu) membuat tidak ada kewajiban bagi partai politik memasukkan anak muda dalam kepengurusan, atau daftar caleg dan calon pemimpin negeri.

Maka dapat dipastikan sangat kecil kemungkinan anak muda menjadi subyek dalam kontestasi politik (setidaknya tahun 2024 mendatang), karena faktanya demokrasi elektoral (Pemilu) sebagai satu-satunya cara konstitusional untuk mengganti pemimpin tidak terjangkau akibat mahal.

Setiap calon perlu menyediakan modal (jejaring hingga finansial) untuk mendapat kepercayaan, baik dari partai maupun konstituen.

Pada sisi lain, saat demokrasi tidak memberi ruang cukup bagi anak muda untuk terlibat, demokrasi viral menjadi salah satu jawabannya.

Media sosial menjadi jawaban atas mandeknya saluran demokrasi yang belum secara optimal disediakan oleh negara kepada anak muda.

Tidak hanya menjadi media diskusi dan protes pada tata kelola negara secara terbuka, kekuatan media sosial juga mampu ‘memaksa’ penyelenggara negara merespons permasalahan yang viral.

Dunia maya bahkan mampu menjadi sarana efektif terjadinya interaksi antara masyarakat dengan wakilnya di pemerintah, serta mengurai rumitnya birokratis di dunia nyata kalau anak muda mau bertemu dengan pemimpinnya.

Banyak kasus-kasus yang awalnya tidak direspons kemudian menjadi perhatian dan prioritas untuk diselesaikan oleh penegak hukum.

Namun demikian, pemerintah tidak dapat selamanya bergantung pada penanganan masalah yang viral di media sosial. Terlebih, saat ini semakin menguat ketakutan netizen terhadap ancaman pasal-pasal menjerakan, dan negara dapat sewaktu-waktu menonaktifkan akun-akun yang kritis.

Selain itu, kekuatan modal yang kini mengokupansi demokrasi elektoral juga hadir di ruang demokrasi viral.

Industri buzzer atau pendengung telah memengaruhi konstelasi dunia maya. Politisi tidak segan mengeluarkan biaya besar membayar para pendengung agar viral dan mendapat simpati publik, terlebih menjelang Pemilu.

Setelah semakin tersisih di demokrasi elektoral, kini anak muda juga terancam di ruang demokrasi viral oleh ketakutan dan besarnya modal finansial.

Untuk itu, negara harus memberi ruang afirmasi kepada anak muda di demokrasi elektoral, dan menghapus aturan absurd yang mengganggu kebebasan serta daya kritis anak muda di ruang demokrasi viral.

Pada awal reformasi, perempuan pernah menjadi kelompok rentan dalam demokrasi dan baru mendapat akses serta keterwakilan pascakebijakan afirmasi (UU Partai Politik dan UU Kepemiluan).

Akan jadi ironis di negeri demokrasi ketiga terbesar di dunia, jika implementasi demokrasinya justru menciptakan kelompok rentan baru yang notabene adalah pemilik mayoritas suara, yakni anak muda.

https://nasional.kompas.com/read/2023/07/27/14282251/sampai-kapan-anak-muda-jadi-liyan-dalam-demokrasi

Terkini Lainnya

Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Jokowi Tegaskan Jadwal Pilkada Tak Dimajukan, Tetap November 2024

Nasional
Setelah Geledah Kantornya, KPK Panggil Lagi Sekjen DPR Indra Iskandar

Setelah Geledah Kantornya, KPK Panggil Lagi Sekjen DPR Indra Iskandar

Nasional
Menteri KP: Lahan 'Idle' 78.000 Hektar di Pantura Bisa Produksi 4 Juta Ton Nila Salin Setiap Panen

Menteri KP: Lahan "Idle" 78.000 Hektar di Pantura Bisa Produksi 4 Juta Ton Nila Salin Setiap Panen

Nasional
Istana Sebut Pansel Capim KPK Diumumkan Mei ini

Istana Sebut Pansel Capim KPK Diumumkan Mei ini

Nasional
Deret 9 Kapal Perang Koarmada II yang Dikerahkan dalam Latihan Operasi Laut Gabungan

Deret 9 Kapal Perang Koarmada II yang Dikerahkan dalam Latihan Operasi Laut Gabungan

Nasional
Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping

Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping

Nasional
Jokowi Sebut Ada 78.000 Hektar Tambak Udang Tak Terpakai di Pantura, Butuh Rp 13 Triliun untuk Alih Fungsi

Jokowi Sebut Ada 78.000 Hektar Tambak Udang Tak Terpakai di Pantura, Butuh Rp 13 Triliun untuk Alih Fungsi

Nasional
Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Spesifikasi 2 Kapal Patroli Cepat Terbaru Milik TNI AL

Nasional
Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Jokowi Panen Ikan Nila Salin di Tambak Air Payau di Karawang

Nasional
Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum Caleg yang Mendebatnya

Nasional
Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Kejar Pemerataan Dokter Spesialis, Kemenkes Luncurkan Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis RS Pendidikan

Nasional
Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin jika Menjanjikan

Nasional
Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

Nasional
Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke