JAKARTA, KOMPAS.com - Tim peneliti Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menemukan pengaturan pemerintah terhadap produk tembakau dan turunannya lebih longgar dibandingkan aturan produk minuman beralkohol (minol).
Salah satu peneliti PBHI, Fazal Akmal Musyarri mengatakan, fakta ini ditemukan setelah melakukan perbandingan pengaturan antara dua komoditas adiktif tersebut dari beragam segi.
Segi-segi yang dimaksud, terdiri dari segi pengaturan izin produksi, ketentuan promosi, ketentuan pencantuman label peringatan, pengaturan peredaran, aturan pembatasan peredaran, serta aturan minol dan produk tembakau tradisional.
"Kita di sini menemukan kesenjangan-kesenjangan dari pengaturan baik dari izin produksi, ketentuan promosi, peredaran, hingga bagaimana aturan terhadap minol tradisional dan produk tembakau dilakukan," kata Fazal dalam diskusi media secara daring di Jakarta, Selasa (25/7/2023).
Baca juga: Prevalensi Perokok Meningkat, Pemerintah Diminta Atur Ketat Produk Tembakau
Fazal mengatakan, salah satu bentuk kelonggaran peredaran produk tembakau terdapat pada beleid yang mengatur iklan tembakau dan turunannya, termasuk rokok.
Menurut dia, pengaturan terhadap produk tembakau hanya berupa pembatasan-pembatasan.
Pembatasan tersebut bisa berupa larangan untuk memperagakan merokok dalam iklan, larangan untuk mencantumkan nama produk tembakau, larangan menggunakan kalimat menyesatkan, dan sebagainya.
Akibatnya, masih ada celah yang dimanfaatkan industri untuk mengiklankan produknya.
Baca juga: Bayi Lahir Mati, Risiko Fatal dari Ibu Perokok Aktif
"Temuan yang kita temukan adalah ternyata dengan ada aturan yang menyisakan celahnya, produk tembakau masih bisa masuk untuk mengiklankan produk mereka. Sedangkan minol sudah sejak awal dari tataran UU dilarang, sama sekali tidak bisa mengiklankan," ucap Fazal.
Lebih lanjut, Fazal melihat pengaturan peredaran hingga pendistribusian produk tembakau lebih longgar karena absennya dua kementerian yang memiliki kewenangan di bidang produksi dan distribusi.
Dua kementerian tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Sedangkan pada minol, terlihat ada sinergi antar kementerian/lembaga untuk membuat aturan ketat pelarangan minol.
Baca juga: 5 Efek Samping Asap Paparan Rokok pada Perokok Pasif
Peneliti PBHI Gina Sabrina menambahkan, terlihat ada sinergitas yang baik terhadap pengendalian minol pada Kemendag dan Kemenperin yang mengatur, mengawasi, membina rantai pasok, hingga distribusi penjualan.
Hal Ini, kata dia, dilihat dari berbagai macam aturan teknis yang dikeluarkan dan diperbarui.
"Tapi kami melihat di pengendalian tembakau ini absen, perannya itu hampir semua diambil alih dan didominasi oleh Kemenkes dan BPOM. Ini nanti perlu didorong bagaimana sinergitas ini juga terjadi dalam pengendalian tembakau," ucapnya di kesempatan yang sama.
Sebagai informasi, jumlah perokok anak terus meningkat signifikan.
Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, jumlah perokok anak usia 10-14 tahun meningkat sebesar 0,7 persen dari 1,4 persen di tahun 2013 menjadi 2,1 persen pada tahun 2018.
Sementara, perokok berusia 15-19 tahun meningkat 1,4 persen dari 18,3 persen pada tahun 2013 menjadi 19,6 persen di tahun 2018. Kemudian, data GYTS tahun 2019, usia remaja pertama kali tertinggi berada pada usia 15-19 tahun yakni sebesar 52,1 persen.
Selanjutnya, diikuti oleh remaja berusia 10-14 tahun yaitu 23,1 persen. Artinya, anak sudah mulai merokok pada usia SD dan SMP.
Akibat kenaikan signifikan, sejumlah pihak meminta pemerintah mengambil kebijakan tegas untuk mengatur produk tembakau secara ketat, mengingat tembakau dan turunannya masuk dalam kategori zat adiktif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.