BADAN legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati beberapa poin revisi Undang-Undang (UU) Desa. Dari 19 poin, terdapat dua poin krusial yang santer diperdebatkan, yaitu perubahan periodesasi jabatan kepala desa dan kenaikan dana desa.
Dua poin itu lantas menjadi prahara di balik political will DPR merevisi UU Desa, kendati rencana revisi itu tidak masuk dalam prolegnas prioritas.
Revisi UU Desa menyusul aksi demontrasi yang dilakukan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) akhir tahun lalu. Dalam aksi itu, APDESI mengancam partai politik (parpol) yang menolak usukan itu. Parpol-parpol yang menolak akan diboikot pada Pemilu 2024.
Tak heran, banyak pihak menilai, revisi UU Desa tidak lebih dari kompromi dan konsolidasi politik menjelang Pemilu 2024.
Baca juga: Revisi UU Desa Belum Menjawab Kebutuhan Rakyat Desa?
UU Desa bukan kitab sakral yang tak bisa diubah. Hanya saja perubahan harus ditempuh dengan jalur konstitusional, baik secara prosedur hingga muatan materi yang diatur.
Secara kebutuhan, UU 6/2014 tentang Desa masih relevan dengan konteks kekinian. Kendati ada beberapa hal elementer memerlukan perubahan. Namun daya kohesinya secara komprehensif masih kontekstual, setidaknya sampai terpilihnya anggota DPR pada Pemilu 2024.
Belum lagi revisi itu di luar dari prolegnas prioritas DPR. Artinya, revisi itu datang ujug-ujug, tanpa proses perencanaan yang matang.
Pembahasan sebuah UU di luar dari prolegnas prioritas memang dimungkinkan apabila UU tersebut menjadi kumulatif terbuka akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baleg DPR memang mengajukan usul inisiatif revisi UU Desa dengan merujuk pada putusan MK Nomor 15/PUU-XXI2023. Putusan itu sebagai respon atas uji materi perubahan periodesasi masa jabatan kepala Desa. Dalam putusannya, MK mendalilkan prubahan periodesasi merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk UU (DPR dan pemerintah).
Baca juga: Revisi UU Desa Disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR
Sebagai kebijakan hukum terbuka, skema priodesasi jabatan kepala desa tidak relevan untuk disamakan dengan pejabat publik lain. Baik itu enam tahun untuk satu periode dan maksimal tiga periode dan/atau sembilan tahun untuk satu periode maksimal dua periode, tergantung politik hukum DPR dan pemerintah.
MK menegaskan, pilihan skema periodesasi semacam itu tetap konstitusional tergantung pilihan pembentuk UU. Walau demikian, politik hukum DPR untuk mengubah UU Desa di luar prolegnas prioritas dengan mendalilkan adanya perintah putusan MK, tak bisa diterima begitu saja.
Begitu juga tafsir bias seolah-olah ada perintah MK untuk sesegara mungkin mervisi UU Desa. Dalil ini yang kini digunakan DPR untuk menjustifikasi revisi UU Desa dengan memasukannya sebagai kumulatif terbuka di luar prolegnas prioritas.
Prinsip kumulatif terbuka memungkinkan sebuah RUU diusulkan untuk dibahas, kendati RUU tersebut tidak masuk dalam prolegnas prioritas. Namun, untuk mengklasifikasikannya sebagai kumulatif terbuka harus berangkat dari ratio legis yang jelas dan pasti. Misalnya, RUU tersebut benar-benar merupakan perintah dari MK sehingga penting untuk segera mungkin ditindaklanjuti.
Sementara putusan MK perihal masa jabatan Kepala Desa a quo tak bisa ditafsirkan bahwa ada urgensi atau kegentingan perubahan UU Desa. MK sama sekali tidak memberikan perintah, tetapi sekadar mengembalikan domain itu ke DPR dan pemerintah yang mempunyai otoritas.
Artinya, berubah atau tidanya UU Desa, periodesasi jabatan kepala desa tetap konstitusional. Dengan demikian, tidak tepat mengklasifikan RUU Desa sebagai kumulatif terbuka karena tidak adanya isu konstitusionalitas yang dipersoalkan MK pada uji materil UU 6/2014.