SEBAGAIMANA telah dibahas pada tulisan saya terdahulu, terdapat perubahan tren perolehan suara di antara tiga bakal calon presiden untuk Pemilu 2024.
Paling signifikan terjadi pada tren elektabilitas Prabowo Subianto, yang terus mengalami perbaikan dibanding dua bulan lalu, terutama sebelum Ganjar Pranowo diumumkan secara resmi sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Perubahan tersebut seiring dengan semakin jelasnya strategi politik Prabowo, baik di level teritorial, elektoral, segmental, dan teknikal.
Penetrasi politik Ketua Umum Partai Gerindra untuk menguasai kantong pemilih Jokowi, yang bisa dilihat dari masifnya sebaran photo kebersamaan Prabowo dan Jokowi di billboard-billboard caleg Partai Gerindra, adalah salah satu strategi yang menonjol.
Prabowo dan tim pemenangannya nampaknya semakin yakin bahwa kunci kemenangan ada di kantong suara pendukung Jokowi yang tidak berasal dari PDIP alias bukan pemilih PDIP.
Sebagaimana diketahui, lebih dari setengah pemilih Jokowi memang bukan berasal dari PDIP. Hal tersebut bisa dilihat dari perbandingan perolehan suara Jokowi di Pilpres 2019 lalu dengan perolehan suara PDIP.
Jokowi memperoleh 55,50 persen (85 jutaan) suara dari total pemilih. Sementara raihan suara PDIP sekitar 19,33 (27 jutaan) persen dari total suara pemilih 2019.
Dari perbandingan angka ini bisa dimaknai bahwa pertarungan sebenarnya ada di ranah elektoral alias ranah memenangkan hati pemilih, bukan pada ranah lobby-lobby dan negosiasi-negosiasi elite.
Apalagi, beberapa partai anggota koalisi pendukung Jokowi-Ma’ruf sudah tidak lagi bersama PDIP, terutama Partai Nasdem dan PKB. Jadi sangat masuk akal jika masih terjadi penyebaran suara pendukung Jokowi kepada kandidat lain selain Ganjar Pranowo.
Sebaran suara tersebut, sebisa mungkin dipungut oleh Prabowo dengan terus berjuang menggunakan berbagai upaya agar diidentifikasi sebagai calon presiden yang didukung oleh Jokowi.
Selain identifikasi personal yang langsung kepada sosok Jokowi, Prabowo juga semakin berani bermain mata dan melakukan penetrasi ke kandang PDIP melalui kader-kader senior PDIP yang dianggap cenderung memiliki ambiguitas politik terhadap Ganjar Pranowo, salah satunya Effendi Simbolon.
Kehadiran Prabowo Subianto dalam acara keluarga besar marga Simbolon belum lama ini adalah contohnya.
Jika sekadar hadir tentu tidak akan terlalu berpengaruh. Tapi, kehadiran tersebut malah menggegerkan ruang publik nasional karena membuahkan pernyataan "off side" dari Effendi Simbolon yang secara literal ternyata memberikan dukungan kepada Prabowo.
Meskipun akhirnya Effendi Simbolon meralat pernyataannya setelah dipanggil ke DPP PDIP, peristiwa tersebut sudah terlanjur menghebohkan publik dan banyak sedikitnya telah memberikan efek positif kepada Prabowo.
Karena efek pujian dan endorsement yang telah terlanjur diberikan tentu tidak semudah itu dibendung, apalagi hanya dengan meralat pernyataan lantaran dianggap berseberangan dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai.
Sebagaimana biasanya publik menerima dan mempersepsi pernyataan para elite dan tokoh, kata-kata yang keluar pada pernyataan pertama akan memiliki efek yang lebih meyakinkan dibanding kata-kata yang muncul kemudian dalam sesi ralat.
Apalagi ralat tersebut lahir dari sebuah teguran, yang justru meyakinkan publik bahwa kebenaran sebenarnya ada pada pernyataan pertama.
Kemudian, sebagai lanjutan dari strategi personal Prabowo, penetrasi terjadi di kantong Relawan Jokowi, seperti Projo dan Bara JP, yang berakibat ketidakpastian dukungan politik Relawan Jokowi kepada Ganjar Pranowo.
Sikap dan pernyataan Projo yang cenderung tidak simpatik kepada figur Ganjar secara "taken for granted" acap dimaknai oleh publik sebagai sikap politik resmi Jokowi.
Hal itu sangat bisa dipahami mengingat relawan sekelas Projo memang selama ini identik dengan infrastruktur politik non partai Jokowi yang keberadaannya langsung beberapa langkah di belakang Jokowi.