JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 19 tahun lalu, tepatnya 5 Juli 2004, Indonesia mengukir sejarah untuk pertama kalinya menggelar pemilihan presiden (pilpres) secara langsung.
Pilpres tahun itu merupakan kali pertama bagi masyarakat dapat memilih presiden dan wakil presidennya secara langsung.
Pasalnya, pada periode-periode sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya sendiri dipilih melalui presiden.
Pilpres 2004 diawali dengan pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD yang digelar pada 5 April.
Selanjutnya, pilpres putaran pertama diselenggarakan pada 5 Juli 2004. Ketika itu, ada lima pasangan calon (paslon) yang bertarung memperebutkan kursi RI1 dan RI2, yakni:
1. Wiranto dan Salahuddin Wahid;
2. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi;
3. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo;
4. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla;
5. Hamzah Haz dan Agum Gumelar.
Jumlah pemilih pada pilpres putaran pertama mencapai 153.320.544 orang. Dari angka itu, yang menggunakan hak pilihnya sebesar 79,76 persen atau 122.293.844 orang.
Dari total suara yang masuk, yang dinyatakan sah sebanyak 97,84 persen atau 119.656.868 suara.
Baca juga: Prabowo 2 Kali Kalah di Pilpres, Gerindra Yakinkan PAN Kali Ini Bakal Menang
Dari lima kandidat capres dan cawapres, pasangan SBY-Jusuf Kalla mendapat suara terbanyak, disusul oleh pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Rinciannya yakni:
1. Wiranto dan Salahuddin Wahid: 26.286.788 suara atau 22,15 persen;
2. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi: 31.569.104 suara atau 26,61 persen;
3. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo: 17.392.931 suara atau 14,66 persen;
4. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla: 39.838.184 suara atau 33,57 persen;
5. Hamzah Haz dan Agum Gumelar: 3.569.861 suara atau 3,01 persen.
Dari perolehan angka tersebut, hanya Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla yang lolos ke putaran kedua pilpres.
Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi kala itu didukung oleh 7 partai yakni PDI Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM).
Sementara, SBY-Jusuf Kalla didukung enam partai meliputi Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Pilpres putaran kedua digelar 20 September 2004. Saat itu, jumlah pemilih yang terdaftar mencapai 150.644.184 orang.
Baca juga: PAN Enggan Kalah Pilpres Ketiga Kalinya dan Ajakan Gerindra untuk Kembali Dukung Prabowo
Dari angka tersebut, yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 77,44 persen atau 116.662.705 orang. Lalu, dari total jumlah suara, yang dinyatakan sah sebesar 97,94 persen atau 114.257.054 suara.
Hasilnya, SBY-Jusuf Kalla berhasil mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi dengan rincian perolehan suara:
1. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi: 44.990.704 suara atau 39,38 persen;
2. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla: 69.266.350 suara atau 60,62 persen.
Penyelenggaraan Pilpres 2004 yang dilaksanakan secara langsung dan demokratis ternyata tetap menimbulkan polemik.
Laporan Harian Kompas 17 Juli 2004 menyebutkan, terdapat elemen masyarakat seperti mahasiswa yang menuntut pembatalan hasil penghitungan suara.
Sekitar 15 mahasiswa yang tergabung dalam Central Election Watch (CEW) Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang mendesak pembatalan hasil pilpres.
Saat itu, mahasiswa meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganulir hasil pilpres 5 Juli 2004 karena cacat hukum, menyusul keputusan KPU mengesahkan surat suara yang tercoblos hingga tembus sampul.
Baca juga: Tim Relawan Pemenangan Ganjar Tak Yakin Projo Dukung Prabowo di Pilpres 2024
Ketua KPU Jawa Tengah saat itu, Fitriyah mengatakan tuntutan mahasiswa tak masuk akal.
"Apa segampang itu membatalkan hasil pilpres dan mengapa harus dibatalkan, sementara tidak ada masalah? Ongkos politik dan ekonomi penyelenggaraan pilpres ini mahal. Kalau tidak ada masalah, mengapa harus diulang? Siapa yang akan menanggung biayanya? Biaya untuk tiga kali pemilu di Indonesia ini lebih dari Rp 3 triliun," jelas Fitriyah, dikutip dari Harian Kompas.
Soal coblosan tembus, kata Fitriyah, sudah ada surat keputusan KPU Pusat yang menyatakan surat suara yang tercoblos hingga tembus ke halaman sampul adalah sah.
Keputusan ini untuk menyelamatkan jutaan suara rakyat, mengingat coblosan tembus itu terjadi karena faktor ketidaksengajaan.
Fitriyah menjelaskan, KPU diberi kewenangan membuat kebijaksanaan berkaitan dengan pelaksanaan pemilu.
Ketika kasus coblosan tembus relatif banyak dan terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia, KPU mempunyai diskresi untuk membuat peraturan yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pilpres.
(Penulis: Fitria Chusna Farisa | Editor: Fitria Chusna Farisa)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.