Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Pilpres 2004 dan Upaya Pembatalan Hasil Penghitungan Suara

Kompas.com - 05/07/2023, 05:00 WIB
Achmad Nasrudin Yahya

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 19 tahun lalu, tepatnya 5 Juli 2004, Indonesia mengukir sejarah untuk pertama kalinya menggelar pemilihan presiden (pilpres) secara langsung.

Pilpres tahun itu merupakan kali pertama bagi masyarakat dapat memilih presiden dan wakil presidennya secara langsung.

Pasalnya, pada periode-periode sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya sendiri dipilih melalui presiden.

5 paslon

Pilpres 2004 diawali dengan pemilihan legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD yang digelar pada 5 April.

Selanjutnya, pilpres putaran pertama diselenggarakan pada 5 Juli 2004. Ketika itu, ada lima pasangan calon (paslon) yang bertarung memperebutkan kursi RI1 dan RI2, yakni:

1. Wiranto dan Salahuddin Wahid;

2. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi;

3. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo;

4. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla;

5. Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Jumlah pemilih pada pilpres putaran pertama mencapai 153.320.544 orang. Dari angka itu, yang menggunakan hak pilihnya sebesar 79,76 persen atau 122.293.844 orang.

Dari total suara yang masuk, yang dinyatakan sah sebanyak 97,84 persen atau 119.656.868 suara.

Baca juga: Prabowo 2 Kali Kalah di Pilpres, Gerindra Yakinkan PAN Kali Ini Bakal Menang

Dari lima kandidat capres dan cawapres, pasangan SBY-Jusuf Kalla mendapat suara terbanyak, disusul oleh pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Rinciannya yakni:

1. Wiranto dan Salahuddin Wahid: 26.286.788 suara atau 22,15 persen;

2. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi: 31.569.104 suara atau 26,61 persen;

3. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo: 17.392.931 suara atau 14,66 persen;

4. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla: 39.838.184 suara atau 33,57 persen;

5. Hamzah Haz dan Agum Gumelar: 3.569.861 suara atau 3,01 persen.

Dari perolehan angka tersebut, hanya Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla yang lolos ke putaran kedua pilpres.

Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi kala itu didukung oleh 7 partai yakni PDI Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM).

Sementara, SBY-Jusuf Kalla didukung enam partai meliputi Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Pilpres putaran kedua digelar 20 September 2004. Saat itu, jumlah pemilih yang terdaftar mencapai 150.644.184 orang.

Baca juga: PAN Enggan Kalah Pilpres Ketiga Kalinya dan Ajakan Gerindra untuk Kembali Dukung Prabowo

Dari angka tersebut, yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 77,44 persen atau 116.662.705 orang. Lalu, dari total jumlah suara, yang dinyatakan sah sebesar 97,94 persen atau 114.257.054 suara.

Hasilnya, SBY-Jusuf Kalla berhasil mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi dengan rincian perolehan suara:

1. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi: 44.990.704 suara atau 39,38 persen;

2. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla: 69.266.350 suara atau 60,62 persen.

Desak dibatalkan

Penyelenggaraan Pilpres 2004 yang dilaksanakan secara langsung dan demokratis ternyata tetap menimbulkan polemik.

Laporan Harian Kompas 17 Juli 2004 menyebutkan, terdapat elemen masyarakat seperti mahasiswa yang menuntut pembatalan hasil penghitungan suara.

Sekitar 15 mahasiswa yang tergabung dalam Central Election Watch (CEW) Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang mendesak pembatalan hasil pilpres.

Saat itu, mahasiswa meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganulir hasil pilpres 5 Juli 2004 karena cacat hukum, menyusul keputusan KPU mengesahkan surat suara yang tercoblos hingga tembus sampul.

Baca juga: Tim Relawan Pemenangan Ganjar Tak Yakin Projo Dukung Prabowo di Pilpres 2024

Ketua KPU Jawa Tengah saat itu, Fitriyah mengatakan tuntutan mahasiswa tak masuk akal.

"Apa segampang itu membatalkan hasil pilpres dan mengapa harus dibatalkan, sementara tidak ada masalah? Ongkos politik dan ekonomi penyelenggaraan pilpres ini mahal. Kalau tidak ada masalah, mengapa harus diulang? Siapa yang akan menanggung biayanya? Biaya untuk tiga kali pemilu di Indonesia ini lebih dari Rp 3 triliun," jelas Fitriyah, dikutip dari Harian Kompas.

Soal coblosan tembus, kata Fitriyah, sudah ada surat keputusan KPU Pusat yang menyatakan surat suara yang tercoblos hingga tembus ke halaman sampul adalah sah.

Keputusan ini untuk menyelamatkan jutaan suara rakyat, mengingat coblosan tembus itu terjadi karena faktor ketidaksengajaan.

Fitriyah menjelaskan, KPU diberi kewenangan membuat kebijaksanaan berkaitan dengan pelaksanaan pemilu.

Ketika kasus coblosan tembus relatif banyak dan terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia, KPU mempunyai diskresi untuk membuat peraturan yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pilpres.

(Penulis: Fitria Chusna Farisa | Editor: Fitria Chusna Farisa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya Sebagai Cagub DKI Jakarta

Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya Sebagai Cagub DKI Jakarta

Nasional
PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

Nasional
SYL Klaim Tak Pernah 'Cawe-cawe' soal Teknis Perjalanan Dinas

SYL Klaim Tak Pernah "Cawe-cawe" soal Teknis Perjalanan Dinas

Nasional
Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Nasional
Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Nasional
Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Nasional
Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Nasional
Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

Nasional
Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

Nasional
Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Nasional
Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis 'Mercy'

Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis "Mercy"

Nasional
26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

Nasional
Soal Perintah 'Tak Sejalan Silakan Mundur', SYL: Bukan soal Uang, tapi Program

Soal Perintah "Tak Sejalan Silakan Mundur", SYL: Bukan soal Uang, tapi Program

Nasional
Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com