Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, kelas menengah justru kerap terjebak dan bahkan bersama dengan elite politik dan pemilik modal membajak demokrasi, memanfaatkan kelemahan sistem yang ada demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Belakangan ini, di level pergaulan ‘elite’ ada istilah ‘dikomisariskan’ sebagai bentuk balas budi politik atau untuk menjinakan representasi kelas menengah yang sebelumnya kritis dan resisten terhadap kekuasaan.
Sebagai ‘pemuji’ dan ‘pemuja’ kekuasan, sebagian kelas menengah peran-nya bukan meluruskan elite patronnya yang keliru, bahkan justru makin dibelokkan selama itu menguntungkan diri dan kelompoknya.
Mereka yang turut atau ikut serta membajak demokrasi membuat transisi demokrasi yang seharusnya segera memasuki era konsolidasi demokrasi menjadi stagnan bahkan semakin kabur, dan rakyat kian terpinggirkan.
Banyak di antara kelas menengah yang justru memilih menjadi juru bicara, buzzer atau influencer mendukung oligarki dan kekuasaan, pusat maupun daerah yang senyatanya telah out of the track, ketimbang mengambil peran yang diperlukan oleh demokrasi.
Seperti, para aktivis partai politik yang menjadi tukang penyedia basis massa; para jurnalis tak lagi kritis pada struktur yang menindas; aktivis LSM sibuk dengan masalah-masalah teknis-programatik dari struktur yang ada; dan aktivis mahasiswa lebih banyak bergerak berdasarkan kebutuhan patron politik.
Di ranah lokal, kondisi bisa lebih buruk, oleh karena tingkat pengangguran yang tinggi, berujung pada kemiskinan struktural di tengah kultur politik yang feodal, paternalistik atau patron-klien, menjadikan kelas menengah pasrah mengikuti arus, mengabdi pada kekuasaan, corong membenarkan kekeliruan elite.
Kendati kelas menengah ada yang tampil dalam ranah societal terhadap proses politik, antara lain melalui peran netizen dalam memberikan kritik secara kreatif (politik kreatif), namun itu semua belum signifikan sebagai alat kontrol efektif terhadap kekuasaan.
Pada sisi lain orientasi terhadap kekuasaan oleh elite politik seakan menjadi tujuan satu-satunya. Kekuasaan yang diperoleh ternyata hanya untuk memperkuat posisi, menumpuk kekayaan dan batu loncatan untuk melompat ke jenjang yang lebih tinggi.
Kekuasaan yang dikejar-kejar pun bukanlah untuk pengabdian, tetapi untuk simbol sosial dan kepentingan ekonomi belaka.
Kekuasaan masih sebatas dipahami sebagai keistimewaan, padahal kekuasaan adalah kehormatan dan sudah barang tentu memiliki tanggung jawab.
Tidak mengherankan jika kekuasaan kemudian dikejar dengan segala daya. Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya sebagai urusan hidup dan mati. Itulah yang membuat pemburu kuasa mau melakukan apa saja demi merengkuh kekuasaan.
Berbagai cara dihalalkan sekalipun harus membodohi rakyat. Rakyat dikapling-kapling dan diklaim sebagai basis.
Persentase jumlah dukungan lewat berbagai hasil survei pesanan dipublikasikan tanpa menjelaskan metodologi apa yang dipakai, tak ubahnya nomor lotre.
Syahwat kekuasaan tanpa melihat realitas objektif serta menempelnya kelas menengah bagai bunglon pada elite politik penikmat kekuasaan atau yang ingin melanggengkan kekuasaannya, hanya akan mengorbankan rakyat.