JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ketiga kalinya memutuskan Ketua KPK Firli Bahuri tidak melanggar etik.
Adapun putusan itu berangkat dari tiga laporan berbeda terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli.
Ketiga laporan tersebut terkait polemik pemberian pernghargaan Firli kepada istrinya, Ardina Safitri karena telah menciptakan himne KPK.
Kemudian, pemberhentian Brigadir Jenderal (Pol) Endar Priantoro dari Direktur Penyelidikan KPK dan kebocoran dokumen penyelidikan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ia melayangkan laporan usai Firli memberikan penghargaan kepada istrinya, Ardina Safitri sebagai pencipta himne KPK.
Menurut Korneles, pemberian penghargaan kepada Ardina sebagai pencipta himne KPK memiliki dua permasalahan penting.
Pertama, pemberian penghargaan itu sarat adanya benturan konflik kepentingan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kedua, benturan kepentingan tersebut juga diatur dalam Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Dua regulasi itu pada dasarnya menjelaskan bahwa konflik kepentingan terjadi saat keputusan yang diambil oleh seorang pejabat publik berkaitan erat dengan kepentingan pribadi atau kelompok," kata Korneles, di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Rabu (9/3/2022).
Baca juga: Dewas Nyatakan Firli Tak Langgar Etik soal Himne KPK Ciptaan Istrinya
Laporan Korneles kemudian ditindaklanjuti Dewas KPK. Dewas menggali sejumlah keterangan pihak, mulai dari pegawai KPK, Biro Hukum KPK, termasuk Firli itu sendiri.
Namun, pada akhirnya, Dewas KPK memutuskan tidak ada pelanggaran etik dalam kasus pemberian penghargaan ini.
"Sudah, sudah selesai, sudah tidak ada pelanggaran etik di situ," kata Anggota Dewas KPK Tumpak Hatorangan, Senin (9/1/2023).
Kali ini ia dilaporkan oleh anak buahnya sendiri, yakni Brigadir Jenderal (Pol) Endar Priantoro yang diberhentikan dari posisi Direktur Penyelidikan KPK.