Predisposisi ini terkait dengan tiga aspek sosial: status kelas warga, identifikasi keagamaan atau rasial warga, dan wilayah di mana pemilih itu berada.
Seorang tokoh dengan tingkat elektabilitas tinggi, tapi memiliki basis pemilih yang sama dengan Bacapres mungkin tidak akan dianggap bisa menambal kekurangan suara.
Karena itu, tokoh lain yang populer tapi memiliki basis pemilih yang berbeda memiliki peluang yang lebih besar.
Pada Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), misalnya, nama Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, santer dibicarakan potensial mendampingi Prabowo Subianto.
Namun deklarasi Prabowo-Muhaimin belum terjadi. Belakangan muncul nama Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dianggap potensial untuk mendampingi Prabowo. Di tataran elite, komunikasi antara Gerindra dengan Golkar mulai terjadi.
Dari sisi elektabilitas, Muhaimin dan Airlangga tidak jauh berbeda. Perbedaannya adalah pada latar belakang atau basis massa kedua tokoh ini dan partainya.
Muhaimin dan PKB memiliki basis massa NU, terutama di Jawa Timur. Sementara Golkar lebih kuat di luar Jawa Timur dan Tengah.
Mereka kuat di Jawa Barat, beberapa wilayah di Sumatera, dan cukup dominan di Sulawesi. Basis massa Golkar dan Prabowo Subianto memiliki banyak irisan. Berpasangan dengan Airlangga dari sisi ini, tidak begitu menjanjikan.
Sebaliknya, jika menggandeng Muhaimin, ada potensi bagi Prabowo untuk memperluas pengaruh ke wilayah yang selama ini bukan basisnya.
Hal yang sama terjadi pada Ganjar Pranowo. Selama ini, PDIP terlihat memiliki tradisi menggandeng tokoh Nahdlatul Ulama, untuk menjadi pendamping tokoh yang mereka usung menjadi calon presiden.
Pada Pemilu 2004, Hasyim Muzadi, Ketua PBNU ketika itu, mendampingi Megawati Soekarnoputri.
Pada 2014, Jusuf Kalla, tokoh NU, mendampingi Jokowi Widodo. Pemilu 2019, giliran Ma'ruf Amin, Rois Aam PBNU, yang berpasangan dengan Joko Widodo.
Apakah dengan menggandeng tokoh NU, suara Ganjar bisa terdongkrak? Data penelitian empiris sejauh ini tidak mengkonfirmasi hal itu.
Bahkan dalam pengalaman Pilpres terdahulu, Megawati kalah dalam Pilpres walaupun didampingi oleh Ketua PBNU pada 2004.
Pada 2019, Jokowi juga kalah dengan selisih yang cukup signifikan daerah asal KH Ma'ruf Amin, Banten.
Baik survei opini publik maupun pengalaman Pemilu belum mengonfirmasi bahwa tokoh NU yang diusung PDIP mendampingi Capresnya memiliki efek yang signifikan menaikkan suara.
Dilihat dari pertimbangan basis massa, sebenarnya PDIP atau Ganjar kuat di wilayah sama yang menjadi basis Nahdliyyin, yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ganjar juga berasal dari Jawa Tengah.
Ada irisan yang cukup tebal antara pemilih Ganjar dan basis massa NU. Karena itu, jika aspek sosiologis dipertimbangan untuk Bacawapres, maka dibutuhkan kekuatan politik di luar basis Ganjar dan PDIP.
Karena itu, tokoh seperti Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, dan Airlangga Hartarto menjadi penting dipertimbangkan.