JELANG tahun politik yang kian memanas dan kader partai yang mulai menggeliat, mungkin ada baiknya kita menatap lagi kaca benggala bangsa ini.
Supaya kita bisa melakukan dialog imajiner dengan para pendiri bangsa, yang tekun memikirkan langkah dan cara terbaik untuk diterapkan pada negara baru yang ingin mereka dirikan—tujuh puluh delapan tahun silam.
Sembari menyeruput kopi Gayo, kita bisa mengajak Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, dan Moh. Yamin untuk berbincang santai di alam pikiran—tentang langkah strategis apa yang mungkin masih bisa kita tempuh. Paling tidak dalam tempo lima tahun ke depan. Terjauh, hingga memasuki 2045.
Sejarah emas Indonesia sudah mencatat nama mereka sebagai negarawan kampiun yang pilih tanding, berwawasan global, dan bervisi jauh ke depan. Malahan, sebagian besar buah pikiran mereka masih sangat cocok kita gunakan hingga hari ini.
Dari Bung Karno, kita bisa menggali lagi konsep Pancasila yang sejati; berdikari secara ekonomi, politik, dan budaya; gotong-royong; Manipol Usdek, Trisakti, Dasa Sila Bandung, dan Tatanan Dunia Barunya.
Apa yang bisa kita pelajari dari Bung Hatta? Tak lain tentang konsep koperasi dan filsafat manusia Indonesianya.
Konsep Koperasi Bung Hatta dapat diejawantahkan dalam berbagai sektor ekonomi, seperti pertanian, industri, perdagangan, dan jasa.
Dengan menerapkan konsep ini, diharapkan koperasi dapat menjadi motor penggerak perekonomian yang inklusif, adil, dan berkelanjutan, serta memberikan manfaat nyata bagi anggotanya dan masyarakat luas.
Konsep bernegara Syahrir, juga menarik kita cermati. Ia memberi penekanan pada demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, keadilan sosial, dan pemerintahan mangkus, yang berpengaruh besar dalam perumusan konstitusi Indonesia pada saat itu.
Meskipun pemikiran dan konsepnya terus berkembang sejak zaman kemerdekaan, sumbangsih Syahrir terhadap diskusi tentang konsep bernegara, masih dihargai dan diperdebatkan dalam konteks sejarah Indonesia.
Mari kita bertandang ke Tan Malaka. Konsep negara dari tokoh yang sangat ditakuti Belanda ini, dapat dilihat melalui karyanya yang berjudul “Dari Penjara ke Penjara,” dan “Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika).
Dalam dua karyanya itu, Tan Malaka mengusulkan konsep negara sosialis yang didasarkan pada prinsip-prinsip Marxis dan revolusi sosial. Dia menyebut negara ini sebagai “negara kerakyatan” atau “negara rakyat”.
Menurut Tan Malaka, negara kerakyatan harus didirikan untuk menggantikan negara kolonial yang kadung bercokol.
Negara ini harus didasarkan pada kekuasaan yang dipegang oleh rakyat sebagai pemilik sejati negara. Konsep ini melibatkan partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi, dengan tujuan menghapuskan eksploitasi dan memastikan kesetaraan sosial.
Tan Malaka juga menekankan pentingnya perubahan sosial melalui revolusi dan transformasi ekonomi.
Dia memandang bahwa negara kerakyatan harus memimpin proses transformasi sosial yang melibatkan nasionalisasi sumber daya alam dan redistribusi kekayaan secara adil untuk kepentingan rakyat banyak.
Lantas bagaimana konsep yang dikembangkan Moh. Yamin? Secara keseluruhan, konsep negara Moh. Yamin menekankan pada supremasi hukum, inklusivitas, kedaulatan nasional, dan pemerintahan yang baik.
Konsep ini menjadi landasan bagi pembentukan negara Indonesia yang berdaulat, demokratis, dan berlandaskan prinsip-prinsip keadilan sosial.
Mari kita kembali ke haribaan Ibu Pertiwi, zaman kiwari. Sejak rezim Orde Baru runtuh, rakyat Indonesia selalu terjebak dalam kejumudan pemilihan pemimpin nasionalnya dalam tataran persona.
Melulu tokoh yang dicari terlebih dahulu, bukan inventarisasi masalah apa yang sedang kita hadapi bersama.
Alhasil dari tahun ke tahun selama seperempat abad berjalan, nama-nama saja yang menghiasi alam pikiran kita. Sedangkan masalah yang terhampar di depan mata, lebih dekat terlihat di seberang lautan.
Kepemimpinan nasional adalah konsep yang merujuk pada kepemimpinan dalam konteks suatu negara atau bangsa secara keseluruhan.
Ini melibatkan kemampuan seorang pemimpin untuk mengelola dan memimpin negara atau bangsa dalam upaya mencapai tujuan dan aspirasi bersama.
Merujuk pada Hasta Gatra yang menjadi acuan keberlangsungan NKRI, maka kita perlu menggarisbawahi beberapa kriteria berikut ini:
Kepedulian terhadap Rakyat. Kepemimpinan nasional harus memiliki ciri kepedulian yang tinggi terhadap kesejahteraan rakyat.
Pemimpin harus mampu mendengar dan menanggapi aspirasi dari seluruh rakyat tanpa terkecuali. Suara dari rakyat di belahan timur Indonesia, perlu mendapat perhatian lebih—setelah berpuluh tahun diabaikan begitu saja.
Menjaga Ketakwaan dan Kebhinekaan dalam Keharmonian. Kepemimpinan harus mampu menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan kebhinekaan.
Pemimpin harus mampu menghargai dan menghormati perbedaan agama, suku, ras, dan budaya, serta menerapkan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam kepemimpinannya. Tanpa tawar-menawar.
Berintegritas dan mengedepankan keterbukaan. Kepemimpinan harus memegang teguh kejujuran, dan terbuka dalam tindak-tanduk keputusannya. Pemimpin harus berani dan tegas dalam memberantas korupsi dan penerapan hukum yang adil. Bukan tebang pilih.
Kepemimpinan nasional yang mangkus, membutuhkan integritas tinggi. Pemimpin harus memiliki moralitas kokoh, bertindak dengan jujur, dan memegang prinsip-prinsip yang benar.
Integritas membangun kepercayaan rakyat dan mengilhami kepatuhan terhadap hukum dan norma-norma yang baik.
Terbuka terhadap kritik. Kepemimpinan yang baik tidak boleh antikritik, dan mampu menjaga dialog yang membangun dengan seluruh rakyat. Pemimpin harus mampu mengakomodasi masukan dan saran dari berbagai pihak, demi kemajuan bersama.
Pemimpin nasional yang baik harus bersedia untuk terbuka dalam menjalankan tugas mereka. Mereka harus memberikan akses yang adil terhadap informasi, berkomunikasi dengan jelas, dan mempertanggungjawabkan tindakannya kepada rakyat.
Keterbukaan, memperkuat kepercayaan publik dan mengurangi potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Mandiri dan berorientasi pada Kepentingan Nasional. Kepemimpinan harus mampu menunjukkan kemandirian dan menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Pemimpin harus mampu berpikir jangka panjang dan strategis, serta sanggup merumuskan visi dan misi yang baik untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Memilki Kemampuan, Pengalaman, dan Wawasan dalam Khazanah Kepemimpinan. Seorang pemimpin jelas harus memiliki kemampuan dalam kepemimpinan, meliputi kemampuan berbicara dan merangkul berbagai pihak, kepemimpinan berpikir dan berinovasi, serta kemampuan dalam manajerial.
Visi dan Misi. Seorang pemimpin nasional harus memiliki visi yang jelas tentang masa depan negara atau bangsa yang dipimpinnya.
Visi ini harus mencerminkan aspirasi masyarakat dan memberikan arahan jangka panjang. Selain itu, pemimpin juga harus memiliki misi yang melekat pada visi tersebut, dengan strategi dan rencana tindakan yang tepat untuk mencapainya.
Kepemimpinan Transformasional. Pemimpin nasional yang hebat mampu menjadi agen perubahan.
Mereka mendorong transformasi positif dalam sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Pemimpin transformasional juga mampu memengaruhi dan menginspirasi banyak orang untuk berpartisipasi dalam perubahan tersebut.
Kecerdasan Emosional. Kepemimpinan nasional tidak hanya bergantung pada kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional.
Pemimpin yang baik harus mampu memahami dan mengelola emosinya sendiri dan orang lain. Ia harus memiliki empati terhadap kebutuhan dan aspirasi rakyat, serta kemampuan untuk membangun hubungan yang baik dengan berbagai kelompok dalam masyarakat.
Kepemimpinan Inklusif. Kepemimpinan nasional yang baik juga membutuhkan inklusifitas. Pemimpin harus mempromosikan persatuan dan menghargai keragaman dalam masyarakat.
Mereka harus bisa mengintegrasikan berbagai kelompok dan memastikan bahwa semua suara didengar dan dihargai dalam proses pengambilan keputusan.
Keberlanjutan. Pemimpin nasional harus memiliki pemahaman yang kuat tentang keberlanjutan dalam konteks sosial.
Cetak biru arah pembangunan negara, harus dipahami benar oleh seorang pemimpin nasional, agar capaian dari pemimpin sebelumnya, bisa dijadikan tolok ukur kinerja pemerintahannya.
Melalui kriteria-kriteria di atas, kepemimpinan negarawan berbasis Pancasila, diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan mampu memajukan bangsa dan negara Indonesia dengan mengacu pada Pancasila sebagai dasar utama.
Sebelum tulisan ini kami pungkasi, mari kita menyapa dua pemimpin besar dalam sejarah manusia.
Koresh (Cyrus II) Agung adalah kaisar Imperium Persia (Iran sekarang) kuno, Achaemenid, pada Abad 6 SM. Ia terkenal karena kebijaksanaan politiknya yang mencakup, kecakapan militer, dan kebijakan tenggang rasa terhadap kerajaan taklukkannya.
Kaisar inilah yang mempromosikan tuk kali perdana; seluruh manusia adalah keluarga besar di bawah payung kekaisarannya.
Sealaf kemudian, seorang bijak bestari dari jazirah Arabia, Muhammad “Sang Nabi,” mendeklarasikan pesan universal yang nyaris sama saat Haji pamungkasnya bahwa, “... setiap manusia adalah saudara dengan derajat yang setara. Tak seorang pun lebih mulia dari yang lain, kecuali dalam takwa dan amal soleh.”
Dua pemimpin umat manusia ini punya misi serupa, dengan wahana berbeda. Satu berbekal kendali politik adekuat, satunya lagi dengan buhul agama.
Ribuan tahun kemudian, peradaban dunia pun berputar dinamis, berdasar warisan luhur mereka untuk umat manusia.
Kita berutang jasa pada kiprah mereka. Karena seluruh negara modern pada masa ini, masih terus berupaya mewujudkan konsep universal yang dahulu pernah mereka selenggarakan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.