Apakah parpol juga terjebak dalam situasi yang sama? Sekadar pencitraan yang seolah bisa menjelaskan tokoh dengan baik, namun secara elektabilitas sama sekali tak mendongkrak militansi pemilih untuk bergabung dalam barisan parpol tertentu?
Sergio menyebut kunci iklan dengan konsumsi riil.
Menurut Sergio Zyman, banyak orang yang tidak memahami bagaimana mekanisme kerjanya namun merasa butuh. Hanya didasari keyakinan, jika beriklan pasti akan “terkenal”.
Makanya, ada yang tertawa ketika ada informasi yang mengatakan bahwa pemasaran adalah “menjual”. Dikira itu melulu tugas divisi penjualan.
Pertama; barangkali dulu, para pemasar bisa bekerja begitu saja dengan hanya mengikat para konsumen mereka dengan citra. Mencoba lebih fokus pada hasil, bukan aktivitas.
Jika para pemasar memahami bahwa tujuannya adalah menjual dan bukan hanya melakukan promosi, mereka akan menjual lebih banyak barang.
Kedua; memahami bahwa pemasaran adalah “investasi”. Apabila kita memahami bahwa pemasaran adalah apa yang kita lakukan untuk menjual barang, uang yang kita keluarkan adalah investasi, bukan biaya.
Ketiga; jual apa saja yang bisa “diproduksi”. Dalam artian ketika seorang pemasar yang baik akan menjual apa saja yang bisa dihasilkan oleh perusahaan, segala hal bukan hanya sebagian atau sedikit dari potensi yang dimiliki.
Keempat; arahkan kemana tujuan kita, bukan kemana kita bisa berada. Pemasar sering lebih fokus pada pekerjaan dan tidak memberikan perhatian yang memadai pada hasil.
Di kemudian hari pemasaran berubah haluan, dengan persiapan lebih baik pada proses yang disebut perencanaan tujuan (destination planning), artinya harus ada rincian lebih spesifik soal tujuan akhirnya.
Namun dalam politik, ada batasan terkait citra atau pencitraan belaka, karena bagaimanapun track record figur atau tokoh juga menjadi penentu, hanya saja pencitraan yang tepat bisa menjadi senjata ampuh dan mengelabui citra buruk?
Sayangnya dalam persaingan “beriklan” yang terjadi saat ini, upaya saling serang yang terbuka, apalagi dengan saling mengumpan dengan “isu pembusukan” menjadikan bumerang bagi si tokoh sendiri.
Secara personal kepribadian si tokoh menjadi ukuran ketika “konsumen” dalam hal ini kontestan peserta pemilu alias-pemilih menentukan apakah tokoh tersebut layak dipilih dan menjadi calon pemimpin negara.
Di luar itu, relasi kuasa juga ikut bermain. Namun bagaimanapun iklan yang kuat bisa menjadi senjata baru selama, “produk” memang tidak cacat, atau memaksa diri terlalu menjadi baik yang justru bisa menjadi blunder karena membentuk persepsi yang salah di benak “konsumen pemilih”. Tokoh yang suka menyerang tokoh lain bisa mendapat cap buruk.
Jadi berhati-hatilah dengan kata-kata, karena “mulutmu bisa menjadi harimaumu” begitu juga dengan sikap.
Bisa jadi Sergio salah, karena pemasaran memang sudah jauh berubah, dan di luar konteks sekadar menjual, ada hal lain, yaitu permainan politik yang susah ditebak alur pikirnya.
Tapi seperti kata Sergio sang pakar marketing, Jangan patah arang, tetaplah ber-iklan, kejar “konsumsi riil”!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.