Kedua, jika Aldi terpilih, bukan tidak mungkin dia akan melakukan buck passing. Dalam politik, hal ini merujuk pada pengalihan tanggung jawab atas konsekuensi keputusan kebijakan dan menyalahkan orang atau lembaga lain sebagai gantinya.
Banyak politisi menggunakan taktik licik ini untuk menjaga popularitas, menghindari kritik, dan mengalihkan perhatian dari kegagalan kepemimpinannya.
Aldi secara verbal meminta agar masyarakat tidak memilihnya, dan itu disampaikan berulang kali dalam wawancara-wawancara lain setelahnya. Apabila masyarakat yang dalam keadaan sadarnya memilih orang yang tidak ingin dipilih, maka sebaiknya jangan menaruh harapan besar untuk sebuah pertanggungjawaban.
Ketiga, bahaya terbesar adalah ketidakstabilan politik yang berkepanjangan. Keputusasaan publik terhadap lembaga negara dan politikus dapat memicu konflik sosial, ketegangan politik, hingga aksi massa.
Hal itu jelas akan menghambat stabilitas negara. Ketidakstabilan politik ini juga berdampak negatif pada ekonomi Indonesia, seperti terjadinya pelemahan nilai tukar rupiah, peningkatan inflasi, dan ancaman ketidakstabilan sosial lainnya.
Aldi Taher bukanlah orang pertama dalam politik yang mendapat dukungan secara satir. Pada 2019, pemilu di Indonesia diramaikan dengan kehadiran pasangan calon presiden-wakil presiden fiktif Nurhadi dan Aldo Suparman.
Pasangan fiktif itu dimunculkan sekelompok anak muda yang merasa gerah dengan kampanye hitam. Pasangan itu berasal dari partai fiktif, yakni Partai Untuk Kebutuhan Iman (PUKI).
Nurhadi seorang tukang pijat dari Kudus (Jawa Tengah). Sementara wajah Aldo adalah gabungan dari sejumlah wajah politikus. Dalam dua pekan saja, Nurhadi-Aldo berhasil meraih puluhan ribu pengikut di Facebook, Twitter, dan Instagram.
Konten-konten seputar menjaga persatuan bangsa hingga isu-isu sensitif seperti legalisasi ganja dikemas dengan jenaka, juga vulgar. Nurhadi-Aldo berhasil menarik dukungan masyarakat secara organik lewat produksi konten sejenis dengan caranya masing-masing.
Kandidat politik bergaya satir juga ada di sejumlah negara. Pada pemilu Britania Raya tahun 1987, publik dikejutkan dengan seseorang berjubah hitam dan topeng tinggi bernama Lord Buckethead. Ia maju dalam pemilu di kawasan Finchley, London Utara.
Semenjak itu, karakter yang diadopsi dari film Hyperspace karya Todd Durham tersebut digunakan sejumlah orang untuk mencalonkan diri dalam pemilu lainnya. Bahkan, pada 2017, sosok itu menjadi salah satu lawan Perdana Menteri Theresa May di Maidenhead.
Ketika itu, komedian Jon Harvey sebenarnya juga ingin maju sebagai kandidat independen dengan nama Lord Buckethead. Namun karena nama itu telah didaftarkan orang lain, Jon membuat identitas baru bernama Count Binface. Penampilan keduanya yang mencolok meramaikan suasana pemilu di Britania Raya hingga kini.
Demikian pula di Amerika Serikat (AS). Seorang seniman pertunjukan muncul dengan identitas bernama Vermin Supreme dan meramaikan Pemilihan Presiden 2008 (beberapa pihak mengatakan sejak 1992) hingga sekarang. Penampilannya juga nyentrik. Ia menggunakan topi, sepatu boots, dan membawa sikat gigi besar sebagai kampanye agar orang-orang menyikat gigi mereka, dan berjanji setiap orang Amerika akan dapat satu kuda pony jika dirinya terpilih.
Kandidat-kandidat politik bergaya satir itu muncul sebagai bentuk protes dan keputusasaan atas politikus yang terjebak dalam template monoton di setiap kampanye pemilu.
Aldi Taher mungkin tak sefiktif Nurhadi-Aldo. Namun dia juga tak sekritis Buckethead, Binface, dan Supreme. Aldi bisa saja tak paham apa fungsi lembaga negara yang dimasukinya.
Sementara itu, masyarakat yang masih menjadi undecided voters atau mereka yang belum menentukan pilihan bisa saja memilih secara irasional. Mereka terpengaruh oleh faktor emosional, populisme, hingga kebingungan dalam memahami isu-isu politik yang kompleks.
Di sisi lain, alineasi politik membuat publik merasa bahwa memilih politikus manapun tak akan memberikan perbedaan signifikan dibandingkan dengan memilih Aldi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.