“Dalam pandangan saya, falsafah Pancasila sebagaimana Bung Karno gali memang sungguh luar biasa. Betapapun rumusan Pancasila digali dari bumi Indonesia, kandungan nilainya bisa diterima secara universal,” kata Arief Hidayat.
“Saya teringat pidato Bung Karno di depan Kongres Amerika Serikat pada 17 Mei 1956. Bung Karno dengan kepercayaan diri tinggi menguraikan Pancasila sebagai five guiding principles of our national life, lima pedoman kehidupan nasional... Ketika setiap sila disebutkan hadirin bertepuk tangan riuh dan diakhiri dengan standing ovation yang panjang,” demikian lanjut Arief Hidayat.
Demikian juga dalam pidato Bung Karno di depan PBB pada 30 September 1960. Bung Karno, tulis Arief Hidayat, menyangkal pendapat Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris yang membagi dunia dalam dua poros ideologis, liberal dan komunisme.
“Bung Karno mengatakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu,” tulis Arief Hidayat yang kini menjabat sebagai anggota MK.
“Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri timbulah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional,” demikian cukilan pidato Bung Karno yang ditulis kembali oleh Arief Hidayat.
Pidato itu ditanggapi oleh Bertrand Russel dalam tulisan di harian Inggris. Russel menyebut Pancasila yang disampaikan Bung Karno itu sebagai sintesis kreatif dan ideologi dunia. Bertrand Russel juga menyebut Bung Karno sebagai "Great Thinker in the East".
Dalam buku “Sukarno, paradoks Revolusi Indonesia” yang diterbitkan Kerjasama antara KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dengan Majalah Tempo tahun 2010, antara lain ada artikel yang menarik bagi saya, karena sebagian peristiwanya juga saya alami sebagai wartawan. Judul artikel itu “Seorang Bima, Seorang Hamlet”.
Beberapa bagian dari tulisan itu saya tulis kembali di sini dengan beberapa penambahan dan pengurangan. Artikel itu bagi saya merupakan kontemplasi tentang Bung Karno setelah wafatnya beliau 21 Juni 1970.
Sejak meninggalnya, nama serta wajah Sukarno tidak pernah benar-benar lumat terkubur. Kampanye puluhan tahun orde baru untuk membenamkannya (Bung Karno) justru hanya memperkuat kenangan orang akan kebesarannya, simpati pada epilog hidupnya yang tragis, serta maaf atas kekeliruannya pada masa silam.
Sukarno tidak pernah berhenti menjadi ikon revolusi nasional Indonesia yang paling menonjol. Di banyak rumah, foto-fotonya, kendati dalam kertas yang sudah menguning di balik kaca figura yang buram, tidak pernah diturunkan dari dinding meski pemerintahan berganti-ganti.
Di kaki lima, posternya masih tampak dipajang bersebelahan dengan gambar Madonna, Iwan Fals, dan Bob Marley – simbol dari jaman yang sama sekali lain.
Pada pemilihan umum Juni 1999, Sukarno hadir sebagai juru kampanye “in absentia” bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin putrinya, Megawati Sukarnoputri.
Gambar besarnya diusung dalam arak-arakan. Posternya dipasang di mulut-mulut gang. Dan Sukarno memenanginya.
PDI Perjuangan meraih suara terbanyak, mengantar Megawati menjadi wakil presiden sekaligus melempangkan jalan bagi pemulihan nama Sukarno sendiri.
Sukarno pada masa hidupnya beberapa kali ditembak dan digranat. Tidak berhasil dimatikan. Tahun 1970, dia meninggal dunia. Setelah meninggal dunia, berkali-kali juga dibunuh.
“Sejarah yang akan membersihkan namaku," begitu kata Sukarno.
Sumpah itu jadi kenyataan. Sejarah dan waktu kini berpihak padanya. Tidak hanya dalam kenangan penghuni gubuk reyot pedesaan dan kampung kumuh perkotaan –orang-orang Marhaen yang menjadi sumber ilham dan curahan simpati besarnya – tapi juga dalam konser musik klasik tempat orang berdasi dan bermobil mewah mendengarkan komponis besar Italia, Giuseppe Verdi.
Untuk pertama kalinya (tahun 2010) sejak tragedi berdarah 1965, yang sebagian dosanya dibebankan padanya, dia memperoleh kembali secara lebih proporsional kehormatannya yang menjadi haknya... Sukarno lebih dari siapa pun memang berjasa besar menyatukan bangsa Indonesia dalam kesadaran bersama meraih kemerdekaan, lewat orasi-orasinya yang berani dan menggemuruh...
Tidak hanya mengantarkan kemerdekaan Indonesia, dia kemudian hari memang mengguncang dunia pula.
Dari lembah Sungai Nil hingga Semenanjung Balkan, dari Aljazair hingga India, namanya dikenang sebagai salah satu juru bicara Asia Afrika paling lantang dalam melawan imperialisme dan kolonialisme Barat.