Salin Artikel

Bung Karno, Antara Bandit dan Dewa

Sementara, belum lama ini, seorang perempuan yang punya pengalaman memancing (mengail) ikan besi dan batu di sejumlah sumur tua minyak di Jawa Tengah beberapa kali mengatakan, Bung Karno itu adalah “pemberontak ecek-ecek“ yang seharusnya tidak jadi presiden.

Pengail yang tidak pernah baca buku sejarah ini mengatakan, kesimpulannya tentang Bung Karno berdasarkan narasi di video yang ia tonton selama masa pandemi Covid-19 tahun 2021.

Narasi itu bagi saya memang bagian dari gerakan desukarnoisasi, “pembunuhan ulang” setelah wafatnya 21 Juni 1970.

Memang kontras apa yang dikatakan Bertrand Russel dengan apa yang dikatakan juru kail sumur tua itu.

Sedangkan Bung Karno sendiri pernah mengatakan tentang dirinya seperti ini: “Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro dan kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja sebagai dewa.”

Lihat halaman 5 buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” tulisan Cindy A Adam dari Amerika Serikat terbitan tahun 2001.

Saya menangis, sedih, bangga, bahagia, jengkel dan bersyukur, bila membaca atau mendengar kisah Bung Karno dan RA Kartini.

Dua tokoh besar ini membuat saya banyak membaca buku tentang mereka. Hampir 25 buku tebal dan tipis tentang dua tokoh ini yang saya miliki.

Otobiografi “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” tulisan Cindy Adams (Amerika Serikat) berulang-ulang saya baca.

Siapakah Bung Karno? Ketika masih sekolah rakyat (SR) tahun 1960-an, di Magelang, Jawa Tengah, banyak sekali rumah-rumah penduduk di segala lapisan atau stratifikasi sosial, memasang foto Bung Karno.

Tahun 2022, ketika saya menyelusuri beberapa kampung di pelosok kampung di kota itu, foto Bung Karno masih terpampang di banyak rumah yang saya kenal sejak saya masih sekolah SR.

Pada masa duduk di SR sampai SMP, saya banyak mendengar seruan “pejah gesang nderek Bung Karno” (mati dan hidup ikut Bung Karno).

Menjelang akhir 2000, saya mengikuti rombongan Gus Dur (presiden waktu itu) ke markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.

Seorang wartawan tua (orang Amerika) bercerita dengan semangat tentang pidato Bung Karno yang menentang pendapat filsuf besar dari Inggris, Bertrand Russel.

Nama filsuf dan sejarahwan ini saya kenal ketika masih belajar filsafat dari K Bertens di Pineleng, Manado.

Apa yang dikatakan wartawan tua Amerika di markas besar PBB itu menarik perhatian saya. Namun detailnya banyak yang tidak bisa saya tangkap dan ingat.

Sekitar dua setengah tahun lalu, Juni 2020, saya mendapat buku dari Wakil Ketua MPR Dr Ahmad Basarah berjudul “Bung Karno Islam dan Pancasila”.

Salah satu penulis pengantar buku itu adalah Prof Dr Arief Hidayat SH MS (Ketua Mahkamah Konstitusi 2015 – 2017).

Dalam pengantarnya, Arief Hidayat antara lain mengatakan sebagai berikut.

“Dalam pandangan saya, falsafah Pancasila sebagaimana Bung Karno gali memang sungguh luar biasa. Betapapun rumusan Pancasila digali dari bumi Indonesia, kandungan nilainya bisa diterima secara universal,” kata Arief Hidayat.

“Saya teringat pidato Bung Karno di depan Kongres Amerika Serikat pada 17 Mei 1956. Bung Karno dengan kepercayaan diri tinggi menguraikan Pancasila sebagai five guiding principles of our national life, lima pedoman kehidupan nasional... Ketika setiap sila disebutkan hadirin bertepuk tangan riuh dan diakhiri dengan standing ovation yang panjang,” demikian lanjut Arief Hidayat.

Demikian juga dalam pidato Bung Karno di depan PBB pada 30 September 1960. Bung Karno, tulis Arief Hidayat, menyangkal pendapat Bertrand Russel, seorang filsuf Inggris yang membagi dunia dalam dua poros ideologis, liberal dan komunisme.

“Bung Karno mengatakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu,” tulis Arief Hidayat yang kini menjabat sebagai anggota MK.

“Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri timbulah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang lebih cocok. Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional,” demikian cukilan pidato Bung Karno yang ditulis kembali oleh Arief Hidayat.

Pidato itu ditanggapi oleh Bertrand Russel dalam tulisan di harian Inggris. Russel menyebut Pancasila yang disampaikan Bung Karno itu sebagai sintesis kreatif dan ideologi dunia. Bertrand Russel juga menyebut Bung Karno sebagai "Great Thinker in the East".

Dalam buku “Sukarno, paradoks Revolusi Indonesia” yang diterbitkan Kerjasama antara KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dengan Majalah Tempo tahun 2010, antara lain ada artikel yang menarik bagi saya, karena sebagian peristiwanya juga saya alami sebagai wartawan. Judul artikel itu “Seorang Bima, Seorang Hamlet”.

Beberapa bagian dari tulisan itu saya tulis kembali di sini dengan beberapa penambahan dan pengurangan. Artikel itu bagi saya merupakan kontemplasi tentang Bung Karno setelah wafatnya beliau 21 Juni 1970.

Sejak meninggalnya, nama serta wajah Sukarno tidak pernah benar-benar lumat terkubur. Kampanye puluhan tahun orde baru untuk membenamkannya (Bung Karno) justru hanya memperkuat kenangan orang akan kebesarannya, simpati pada epilog hidupnya yang tragis, serta maaf atas kekeliruannya pada masa silam.

Sukarno tidak pernah berhenti menjadi ikon revolusi nasional Indonesia yang paling menonjol. Di banyak rumah, foto-fotonya, kendati dalam kertas yang sudah menguning di balik kaca figura yang buram, tidak pernah diturunkan dari dinding meski pemerintahan berganti-ganti.

Di kaki lima, posternya masih tampak dipajang bersebelahan dengan gambar Madonna, Iwan Fals, dan Bob Marley – simbol dari jaman yang sama sekali lain.

Pada pemilihan umum Juni 1999, Sukarno hadir sebagai juru kampanye “in absentia” bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin putrinya, Megawati Sukarnoputri.

Gambar besarnya diusung dalam arak-arakan. Posternya dipasang di mulut-mulut gang. Dan Sukarno memenanginya.

PDI Perjuangan meraih suara terbanyak, mengantar Megawati menjadi wakil presiden sekaligus melempangkan jalan bagi pemulihan nama Sukarno sendiri.

Sukarno pada masa hidupnya beberapa kali ditembak dan digranat. Tidak berhasil dimatikan. Tahun 1970, dia meninggal dunia. Setelah meninggal dunia, berkali-kali juga dibunuh.

“Sejarah yang akan membersihkan namaku," begitu kata Sukarno.

Sumpah itu jadi kenyataan. Sejarah dan waktu kini berpihak padanya. Tidak hanya dalam kenangan penghuni gubuk reyot pedesaan dan kampung kumuh perkotaan –orang-orang Marhaen yang menjadi sumber ilham dan curahan simpati besarnya – tapi juga dalam konser musik klasik tempat orang berdasi dan bermobil mewah mendengarkan komponis besar Italia, Giuseppe Verdi.

Untuk pertama kalinya (tahun 2010) sejak tragedi berdarah 1965, yang sebagian dosanya dibebankan padanya, dia memperoleh kembali secara lebih proporsional kehormatannya yang menjadi haknya... Sukarno lebih dari siapa pun memang berjasa besar menyatukan bangsa Indonesia dalam kesadaran bersama meraih kemerdekaan, lewat orasi-orasinya yang berani dan menggemuruh...

Tidak hanya mengantarkan kemerdekaan Indonesia, dia kemudian hari memang mengguncang dunia pula.

Dari lembah Sungai Nil hingga Semenanjung Balkan, dari Aljazair hingga India, namanya dikenang sebagai salah satu juru bicara Asia Afrika paling lantang dalam melawan imperialisme dan kolonialisme Barat.

Saya jadi ingat ucapan Menteri Koodinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan pada Kabinet Pembangunan VI (masa orde baru), Soesilo Soedarman (jenderal) bicara soal Bung Karno dengan para wartawan di kantor wakil presiden Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, tahun 1993.

Ketika itu rezim orde baru sedang ganas-ganasnya terhadap Megawati.

“Kita bangsa Indonesia saat ini janganlah merasa lebih pandai dari Pak Karno,” ujar Soesilo waktu itu.

Soesilo saat itu juga bercerita, ketika Konferensi Asia Afrika (KAA) berlangsung tahun 1955 di Bandung, dia masih berpangkat letnan.

“Ketika itu saya membawa istri saya yang sedang hamil ke tempat diselenggarakan konferensi itu. Saya ingin istri saya ikut mendengarkan pidato Bung Karno, siapa tau, anak saya akan mendapat berkah sehingga menjadi pemimpin seperti Pak Karno,” ujar jenderal itu.

Dalam buku “Biografi Luhut Binsar Pandjahitan – LUHUT” yang ditulis Noorca M Massardi (diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2022) antara lain dikisahkan pada 15 Juni 1948, Bung Karno berkunjung ke Balige, Sumatera Utara.

Ketika itu Ibunda Luhut, Ny Siti Frida Naiborhu, membawa bayinya, Luhut, ke acara penyambutan presiden RI yang pertama tersebut.

Ketika itu Bung Karno mendekati Ny Frida dan mengusap-usap kepala Luhut seraya berkata,”Suatu hari anak ini akan jadi orang besar”.

Luhut tahu cerita itu dari ibunya setelah dia dilantik jadi menteri perindustrian dan perdagangan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) Kamis, 24 Agustus 2000.

“Namun sejarah membuktikan, elusan dan doa Bung Karno itu agaknya terbilang mustajab,” demikian kalimat yang ditulis dalam biografi Luhut tersebut.

Apa kata Luhut tentang Bung Karno? “Bung Karno mendeklarasikan kemerdekaan... Jika tidak ada Bung Karno dan Bung Hatta, mungkin belum tentu kita merdeka,” ujarnya.

Sejak masih belia sudah meneriakan dengan lantang tentang kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam usia 26 tahun, yakni di Bandung, 4 Juni 1927, Bung Karno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia. Slogan dari organisasi ini adalah “Merdeka Sekarang juga”.

Sementara itu beberapa tokoh pergerakan lainnya belum berani menyerukan kemerdekaan secara terbuka.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 1999 – 2004 dan 2004 – 2009 KH Hasyim Muzadi tahun 2012 mengatakan, Bung Karno adalah nasionalis sejati yang hanya berbuat untuk bangsa dan negara.

“Sayang banyak orang yang tidak mau mempelajari ajaran-ajaran Bung Karno. Apalagi ada pihak-pihak yang telah mendiskreditkan Bung Karno. Padahal ajaran-ajaran Bung Karno sangat relevan untuk membangun Indonesia agar menjadi bangsa yang mandiri, lepas dari kungkungan bangsa lain,” demikian Hasyim Muzadi yang wafat 16 Maret 2017.

Menutup tulisan ini saya laporkan, Jumat 2 Juni 2023 lalu, saya datang ke rumah salah satu bakal calon presiden untuk pemilihan presiden 2024 lalu, Anies Rasyid Baswedan di Joglo Satriyo Pinayungan Lambang Gantung, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Di salah satu dinding terpapang foto Bung Karno – Bung Hatta. Cukup bagus dan menarik.

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/05/06000021/bung-karno-antara-bandit-dan-dewa

Terkini Lainnya

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke