Pernyataan tersebut juga tampak menggugah dan membangkitkan emosi, tetapi apakah emosi yang timbul itu berdaya positif ataukah negatif.
Uji dimensi pathos sebagaimana disinggung merupakan pintu masuk untuk menilai kredibilitas, baik orang maupun kualitas pernyataannya.
Tentang kredibilitas pemberi pernyataan dapat dipertanyakan ihwal kejujuran dan ketulusannya, dan tentang kredibilitas pernyataannya dapat dipertanyakan ihwal orisinalitas serta rujukan yang digunakannya.
Ringkas kata, dimensi ethos berbicara tentang etika, bukan hanya soal etika sebagai pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk, tetapi juga tentang batas-batas kewajaran, termasuk hak dan kewajiban seseorang dalam konteks berdemokrasi.
Hari menuju 2024 adalah bonus demokrasi di Tanah Air. Jika tiada alar merintang pesta demokrasi akan berlangsung serentak, pemilihan eksekutif dan legislatif.
“Bonus demokrasi” dalam ulasan ini sengaja saya pinjam dari “bonus demografi” dengan dasar bahwa dalam catatan BPS (2023) dinyatakan, “Indonesia memasuki masa bonus demografi dengan periode puncak antara tahun 2020-2030, dibuktikan dengan jumlah penduduk usia produktif yang mencapai dua kali lipat jumlah penduduk usia anak dan lanjut usia” (https://www.bps.go.id/).
Fakta bonus demografi itu jelas dapat memunculkan “bonus demokrasi”, bukan hanya jumlah pemilih yang akan makin bertambah, tetapi juga angka partisipasi demokrasi angkatan milenial akan makin banyak yang tampil di depan.
Ini harus kita apresiasi karena selain mengurangi masalah penganguran, angkatan lama yang sudah tidak produktif memang sudah saatnya harus pensiun. Tak kalah penting juga bahwa bonus demokrasi angkatan ini diharapkan mampu bekerja secara efektif, efisien, dan inovatif dalam mengelola pemerintahan.
Dalam kaitan dengan itu, hari menuju 2024 yang sudah ditandai dengan lanskap politik lipstik dan fenomena sampah visual tidak akan lebih buruk dari sebaran ujaran kebencian dan caci maki, bahkan dengan dampak yang lebih ekstrem: terpecahnya persatuan, persaudaraan, dan kerukunan.
Di negara demokrasi Pancasila yang kita cintai ini, hal-hal macam itu tentu tidak kita kehendaki.
Kita justru menginginkan suatu dialektika demokrasi yang berwibawa, setidaknya kata-kata yang terucap manis di bibir, juga tebaran spanduk atau flyer ada dalam bingkai logos, phatos, dan ethos.
Setiap warga negara, dalam konteks bonus demokrasi, berkewajiban menjaga marwah demokrasi itu sebagai suatu politik yang bermartabat.
Politik yang bermartabat tidak hanya berbicara tentang bagaimana partai sebagai mesin politik berfungsi maksimal, tetapi juga tentang bagaimana para calon pemimpin dan masyarakat calon pemilih menjadikan politik itu sendiri sebagai momen untuk menggunakan hak demokrasinya secara berdaulat.
Mudah-mudahan politik lipstik hanyalah bumbu penyedap untuk nanti diramu menjadi hidangan yang bermanfaat, dan sampah visual jalanan tidak sekadar menjadi suvenir sepulang jalan-jalan dari luar kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.