"Jika sang wanita belum dewasa, maka apapun alasannya, itu pemaksaan atau perkosaan. Karena pola relasi yang tidak seimbang tadi," imbuh Fickar.
Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarti, turut menyatakan ketidaksetujuannya. Sama dengan Fickar, ia menilai kasus persetubuhan dengan korban anak merupakan kasus pemerkosaan.
Meskipun, ada iming-iming yang dijanjikan pelaku kepada korban.
Ia bahkan menyatakan, tidak ada konsep suka sama suka dalam kasus persetubuhan dengan korban anak, sehingga kasus ini memenuhi unsur tindak pidana. Alih-alih persetubuhan di bawah umur,
Ia lebih setuju kasus ini disebut kejahatan seksual terhadap anak alih-alih persetubuhan di bawah umur. Hal ini berdasar pada Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA).
Bukan tidak mungkin remaja berusia 16 tahun itu merupakan korban eksploitasi seksual anak. Sebab diketahui, korban mulai bekerja di rumah makan sekretariat pemuda adat di Desa Sausu, Taliabo, pada April 2022.
Korban tidak mengetahui bahwa di rumah makan tersebut ada pelayan perempuan yang membuka layanan prostitusi.
Di sisi lain, korban tinggal sendiri karena kedua orangtuanya bercerai. Ia sangat butuh pekerjaan agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi korban sangat rentan dieksploitasi pihak tak bertanggungjawab.
Adapun mengacu pada UU PA, pelaku dapat dituntut hukuman 5 tahun sampai 15 tahun. Jika pelakunya orang terdekat korban seperti guru, hukumannya dapat diperberat sepertiga. Apalagi, ada unsur bujuk rayu atau iming-iming dijanjikan sesuatu.
"Semua kekerasan seksual terhadap anak enggak ada dalih suka sama suka. Itu ketentuan dalam perundangan. Modusnya bujuk rayu, iming-iming atau ancaman," beber Retno.
Kritik lainnya datang dari Perkumpulan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka meminta polisi mengutamakan empati dalam menyidik kasus itu.
Ia pun menyayangkan narasi polisi yang menyebut bahwa kasus yang melibatkan kanan anak adalah persetubuhan di bawah umur. Hal ini, seolah-olah mereduksi kejahatan para pelaku.
Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati menyampaikan, polisi harusnya banyak mempelajari perkembangan pengaturan kekerasan seksual sejalan dengan pemenuhan hak korban.
Baca juga: Ayah ABG 16 Tahun yang Diperkosa 11 Pria di Sulteng Ajukan Perlindungan ke LPSK
Dalam diskursus perlindungan anak, segala bentuk persetubuhan dengan cara apapun, kekerasan, ancaman, atau rayuan mutlak sebagai pemerkosaan atau Statutory Rape.
Pernyataan itu dikuatkan dalam. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPSK), serta UU Nomor 23 tahun 2002 dan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 dan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.