“It is easier to do a job right than to explain why you didn’t," ucap Martin Van Buren.
MEMANG sulit menjelaskan mengapa seorang presiden di negara Indonesia yang telah menetapkan masa jabatan presiden hanya dua periode di dalam konstitusinya justru menginginkan masa jabatan itu diubah menjadi tiga periode.
Mengapa sulit dijelaskan? Karena, seperti kata Martin Van Buren di atas, jika langkah itu diambil, maka sang presiden akan dianggap sedang tidak "do the job right", alias berkeinginan melebihi kapasitasnya sebagai seorang presiden di negara yang membatasi masa jabatan seorang presiden maksimum hanya dua kali.
Hal yang sama berlaku pada urusan "cawe-cawe" presiden Jokowi di dalam dinamika politik pemilihan presiden tahun 2024 yang sedang ramai diperbincangkan.
Sangat susah dijelaskan dan diterima akal, karena pertama, para Presiden sebelumnya, yaitu Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, tidak melakukan hal itu. Kita tidak punya preseden seperti itu selama ini.
Jadi sulit menjelaskan "cawe-cawe" presiden tersebut karena presiden-presiden sebelumnya telah kita anggap "do the job right" terkait dengan persiapan pergantian kepemimpinan nasional via pemilu, lantas tiba-tiba Jokowi justru "didn't", meminjam istilah Van Buren di atas.
Tiba-tiba di penghujung masa jabatan, Jokowi malah "cawe-cawe" alias tidak bersikap seperti presiden-presiden terdahulu.
Tentu tak salah jika beberapa pengamat mencoba membandingkan "cawe-cawe" politik presiden tersebut dengan yang terjadi di Amerika, di mana Presiden Barack Obama, misalnya, ikut berkampanye memenangkan Hillary Rodham Clinton saat pemilihan presiden Amerika tahun 2016. Namun perbandingan tersebut kurang tepat sasaran.
Obama ikut berkampanye setelah calon presiden definitif dari Partai Demokrat ditentukan alias setelah proses Konvensi Partai Demokrat usai.
Jadi Obama tidak memiliki kepentingan dan tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden "in charge" untuk mendikte siapa calon presiden dari Partai Demokrat.
Obama tidak pernah mengumumkan bahwa kriteria calon penggantinya haruslah berkategori "penerus"-nya. Karena sejatinya penerusnya haruslah berdasarkan pilihan mayoritas pemilih Amerika, bukan berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh Obama sebagai presiden incumbent.
Oleh karena itu, konvensi pemilihan calon presiden resmi dari Partai Demokrat berlangsung sangat demokratis dan terbuka, diliput oleh banyak media dan disiarkan secara langsung di banyak stasiun televisi, tanpa intervensi dari presiden yang kebetulan dijabat oleh salah satu kader Partai Demokrat.
Obama baru mulai ikut menjalankan tugasnya sebagai presiden yang notabene juga berlatarbelakang kader Partai Demokrat setelah calon presiden definitif dari Partai Demokrat terpilih.
Itu pun tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk "cawe-cawe", baik untuk memastikan kemenangan Hillary di satu sisi, maupun untuk menghalangi kemenangan Donald Trump dari Partai Republik di sisi lain.
Terbukti, setelah pemilihan usai, Obama tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjegal kemenangan Donald Trump.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.