Dan Obama juga tak bisa berbuat apa-apa ketika pada hari pertama Donald Trump bertindak sebagai presiden justru didedikasikan untuk membatalkan Undang-Undang yang menjadi landasan konstitusional Obamacare atau Undang-undang Jaminan Sosial Pelayanan Kesehatan/ Affordable Care Act-ACA, salah satu program andalan pemerintahan Obama selama 8 tahun berkuasa.
Yang bisa dilakukan Obama adalah mendorong kubu Partai Demokrat untuk "fight", baik di House of Representative maupun di Senate, dengan tujuan menandingi aksi Donald Trump tersebut.
Beruntungnya, aksi koboi Donald Trump itu gagal di Senat, karena satu orang anggota Senat berasal dari Partai Republik membelot.
John McCain, anggota senat dari Partai Republik, yang berteman dekat dengan Joe Biden sejak lama, adalah anggota senat terakhir yang melakukan voting, sekaligus sebagai penentu kemenangan atau kekalahan Partai Republik di dalam voting pembatalan Obamacare.
Jhon McCain pun berdiri, lalu mengacungkan jempol yang diputar ke bawah ke arah kamera, dan berlalu ke luar ruangan, yang berarti beliau memilih "abstain." Walhasil, Partai Republik gagal mendapatkan suara 50 plus 1 di voting pembatalan UU Obamacare.
Dengan kata lain, menyandingkan urusan "cawe-cawe" Jokowi dengan Obama sangatlah tidak tepat, karena konteksnya sangat berbeda.
Obama tidak terlibat dalam menentukan siapa calon presiden dari Partai Demokrat. Yang dilakukan Obama adalah ikut mengampanyekan calon presiden definitif Partai Demokrat di pemilihan presiden 2016.
Karena yang seharusnya dilakukan Obama sebagai presiden "lame duck" adalah memastikan proses pemilihan berlangsung secara demokratis dan fair di satu sisi dan memastikan transisi berjalan secara baik dan aman di sisi lain.
Perkara siapa yang akan menggantikannya sebagai presiden, sejatinya dikembalikan kepada rakyat Amerika.
"We, the people, are the boss, and we will get the kind of political leadership, be it good or bad, that we demand and deserve", begitu kata John F. Kennedy.
Jadi bos penentu siapa pengganti Jokowi sepatutnya bukanlah Jokowi, tapi rakyat.
Sementara Jokowi “cawe-cawe” nyaris dari hulu hingga ke hilir. Jokowi terkesan sangat takut jika calon presiden A ikut di dalam pemilihan nanti, sangat khawatir kalau calon yang ia endorse tidak berpasangan sama si A atau si B, merasa sangat berkepentingan dengan siapa-siapa saja yang ikut pemilihan nanti, sangat khawatir kalau program-program unggulannya dihentikan, bahkan sangat aktif menginisiasi "Musra" (Musyawarah Rakyat) untuk merumuskan nama-nama yang akan menggantikannya.
Kedua, Jokowi tidak bisa memastikan dan memaksakan bahwa penggantinya haruslah "penerusnya." Karena soal siapa penerus Jokowi sebagai Presiden harus dikembalikan kepada rakyat melalui pemilihan yang demokratis dan adil.
Jika Jokowi memaksakan diri untuk ikut menentukan siapa penggantinya, artinya Jokowi "mengudeta" dan "memboikot" kedaulatan rakyat. Kekuasaan untuk menentukan seperti apa dan bagaimana Indonesia setelah Jokowi tidak lagi menjabat adalah rakyat, bukan Jokowi.
Legitimasi Jokowi dalam menentukan nasib bangsa akan selesai setelah masa jabatannya berakhir, yakni pada Oktober 2024.