Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menyoal "Cawe-cawe" Presiden Jokowi

Kompas.com - 31/05/2023, 06:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

It is easier to do a job right than to explain why you didn’t," ucap Martin Van Buren.

MEMANG sulit menjelaskan mengapa seorang presiden di negara Indonesia yang telah menetapkan masa jabatan presiden hanya dua periode di dalam konstitusinya justru menginginkan masa jabatan itu diubah menjadi tiga periode.

Mengapa sulit dijelaskan? Karena, seperti kata Martin Van Buren di atas, jika langkah itu diambil, maka sang presiden akan dianggap sedang tidak "do the job right", alias berkeinginan melebihi kapasitasnya sebagai seorang presiden di negara yang membatasi masa jabatan seorang presiden maksimum hanya dua kali.

Hal yang sama berlaku pada urusan "cawe-cawe" presiden Jokowi di dalam dinamika politik pemilihan presiden tahun 2024 yang sedang ramai diperbincangkan.

Sangat susah dijelaskan dan diterima akal, karena pertama, para Presiden sebelumnya, yaitu Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, tidak melakukan hal itu. Kita tidak punya preseden seperti itu selama ini.

Jadi sulit menjelaskan "cawe-cawe" presiden tersebut karena presiden-presiden sebelumnya telah kita anggap "do the job right" terkait dengan persiapan pergantian kepemimpinan nasional via pemilu, lantas tiba-tiba Jokowi justru "didn't", meminjam istilah Van Buren di atas.

Tiba-tiba di penghujung masa jabatan, Jokowi malah "cawe-cawe" alias tidak bersikap seperti presiden-presiden terdahulu.

Tentu tak salah jika beberapa pengamat mencoba membandingkan "cawe-cawe" politik presiden tersebut dengan yang terjadi di Amerika, di mana Presiden Barack Obama, misalnya, ikut berkampanye memenangkan Hillary Rodham Clinton saat pemilihan presiden Amerika tahun 2016. Namun perbandingan tersebut kurang tepat sasaran.

Obama ikut berkampanye setelah calon presiden definitif dari Partai Demokrat ditentukan alias setelah proses Konvensi Partai Demokrat usai.

Jadi Obama tidak memiliki kepentingan dan tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden "in charge" untuk mendikte siapa calon presiden dari Partai Demokrat.

Obama tidak pernah mengumumkan bahwa kriteria calon penggantinya haruslah berkategori "penerus"-nya. Karena sejatinya penerusnya haruslah berdasarkan pilihan mayoritas pemilih Amerika, bukan berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh Obama sebagai presiden incumbent.

Oleh karena itu, konvensi pemilihan calon presiden resmi dari Partai Demokrat berlangsung sangat demokratis dan terbuka, diliput oleh banyak media dan disiarkan secara langsung di banyak stasiun televisi, tanpa intervensi dari presiden yang kebetulan dijabat oleh salah satu kader Partai Demokrat.

Obama baru mulai ikut menjalankan tugasnya sebagai presiden yang notabene juga berlatarbelakang kader Partai Demokrat setelah calon presiden definitif dari Partai Demokrat terpilih.

Itu pun tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk "cawe-cawe", baik untuk memastikan kemenangan Hillary di satu sisi, maupun untuk menghalangi kemenangan Donald Trump dari Partai Republik di sisi lain.

Terbukti, setelah pemilihan usai, Obama tidak bisa berbuat apa-apa untuk menjegal kemenangan Donald Trump.

Dan Obama juga tak bisa berbuat apa-apa ketika pada hari pertama Donald Trump bertindak sebagai presiden justru didedikasikan untuk membatalkan Undang-Undang yang menjadi landasan konstitusional Obamacare atau Undang-undang Jaminan Sosial Pelayanan Kesehatan/ Affordable Care Act-ACA, salah satu program andalan pemerintahan Obama selama 8 tahun berkuasa.

Yang bisa dilakukan Obama adalah mendorong kubu Partai Demokrat untuk "fight", baik di House of Representative maupun di Senate, dengan tujuan menandingi aksi Donald Trump tersebut.

Beruntungnya, aksi koboi Donald Trump itu gagal di Senat, karena satu orang anggota Senat berasal dari Partai Republik membelot.

John McCain, anggota senat dari Partai Republik, yang berteman dekat dengan Joe Biden sejak lama, adalah anggota senat terakhir yang melakukan voting, sekaligus sebagai penentu kemenangan atau kekalahan Partai Republik di dalam voting pembatalan Obamacare.

Jhon McCain pun berdiri, lalu mengacungkan jempol yang diputar ke bawah ke arah kamera, dan berlalu ke luar ruangan, yang berarti beliau memilih "abstain." Walhasil, Partai Republik gagal mendapatkan suara 50 plus 1 di voting pembatalan UU Obamacare.

Dengan kata lain, menyandingkan urusan "cawe-cawe" Jokowi dengan Obama sangatlah tidak tepat, karena konteksnya sangat berbeda.

Obama tidak terlibat dalam menentukan siapa calon presiden dari Partai Demokrat. Yang dilakukan Obama adalah ikut mengampanyekan calon presiden definitif Partai Demokrat di pemilihan presiden 2016.

Karena yang seharusnya dilakukan Obama sebagai presiden "lame duck" adalah memastikan proses pemilihan berlangsung secara demokratis dan fair di satu sisi dan memastikan transisi berjalan secara baik dan aman di sisi lain.

Perkara siapa yang akan menggantikannya sebagai presiden, sejatinya dikembalikan kepada rakyat Amerika.

"We, the people, are the boss, and we will get the kind of political leadership, be it good or bad, that we demand and deserve", begitu kata John F. Kennedy.

Jadi bos penentu siapa pengganti Jokowi sepatutnya bukanlah Jokowi, tapi rakyat.

Sementara Jokowi “cawe-cawe” nyaris dari hulu hingga ke hilir. Jokowi terkesan sangat takut jika calon presiden A ikut di dalam pemilihan nanti, sangat khawatir kalau calon yang ia endorse tidak berpasangan sama si A atau si B, merasa sangat berkepentingan dengan siapa-siapa saja yang ikut pemilihan nanti, sangat khawatir kalau program-program unggulannya dihentikan, bahkan sangat aktif menginisiasi "Musra" (Musyawarah Rakyat) untuk merumuskan nama-nama yang akan menggantikannya.

Kedua, Jokowi tidak bisa memastikan dan memaksakan bahwa penggantinya haruslah "penerusnya." Karena soal siapa penerus Jokowi sebagai Presiden harus dikembalikan kepada rakyat melalui pemilihan yang demokratis dan adil.

Jika Jokowi memaksakan diri untuk ikut menentukan siapa penggantinya, artinya Jokowi "mengudeta" dan "memboikot" kedaulatan rakyat. Kekuasaan untuk menentukan seperti apa dan bagaimana Indonesia setelah Jokowi tidak lagi menjabat adalah rakyat, bukan Jokowi.

Legitimasi Jokowi dalam menentukan nasib bangsa akan selesai setelah masa jabatannya berakhir, yakni pada Oktober 2024.

Jadi Jokowi tidak punya wewenang lagi menentukan nasib bangsa ini dalam kapasitas sebagai presiden pilihan rakyat setelahnya. Wewenang itu akan berpindah ke presiden yang baru, terlepas barkategori "penerus" atau bukan "penerus" Jokowi.

Nah, jika Jokowi mengklaim "cawe-cawe" yang dia lakukan adalah untuk kepentingan bangsa setelah tidak lagi jadi presiden, maka Jokowi sudah mengedepankan preferensi pribadinya untuk periode 2024-2029, jauh di atas kepentingan pemilih.

Jelas-jelas logika tersebut "offside," karena mengesampingkan kedaulatan rakyat untuk masa kepemimpinan 2024-2029.

Karena itu, keputusan untuk "cawe-cawe" yang disampaikan dengan bangga tersebut perlu diberi kartu kuning dan diberi peringatan yang cukup keras.

Dan ketiga, dari sisi political leadership, Jokowi sejatinya berkewajiban mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang jauh lebih baik darinya, bukan malah menciptakan follower dan penerus.

"The function of leadership is to produce more leaders, not more followers," ucap Ralph Nader pada suatu waktu.

Jadi "cawe-cawe" Jokowi tidak saja mengangkangi logika demokrasi di mana kedaulatan rakyat seharusnya menjadi landasan dasar pemimpin terpilih pasca-Jokowi (bukan berlandaskan blue print buatan Jokowi), tapi juga menghancurkan jembatan regenerasi kepemimpinan nasional kita ke depannya.

Bagaimana mungkin regenerasi kepemimpinan nasional terbentuk, jika yang terjadi sebenarnya adalah "regenerasi Jokowi", yakni pemimpin yang akan mengabdi hanya kepada kepentingan Jokowi dan bekerja berdasarkan "blue print" yang telah ditetapkan oleh Jokowi.

Legitimasi Jokowi semestinya sudah usai pada Oktober 2024 nanti, lantas mengapa blue print dan kepentingan Jokowi harus dipatuhi dan diikuti oleh presiden terpilih yang bekerja untuk jangka waktu lima tahun setelah Jokowi tak lagi punya legitimasi? Bukankah hal itu sulit diterima akal sehat?

Bagaimana jika ternyata keinginan rakyat berbeda dengan hasrat Jokowi? Lalu bagaimana pula dengan kreatifitas presiden baru, apakah tidak boleh ia kreatif berdasarkan platform politiknya sendiri yang telah di-approve oleh rakyat via pemilihan presiden tahun 2024 nanti?

Kembali berkaca ke Amerika, seperti para pengamat yang membandingkan cawe-cawe Jokowi dengan Obama, Obama tidak bisa melarang Donald Trump menjadi kandidat presiden dan tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk menghalangi terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Sama sekali tak bisa.

Dan Obama juga tak bisa melarang Donald Trump untuk membatalkan UU Obamacare.

Yang membatalkan aksi Donald Trump untuk membabat Obamacare adalah kekuatan rakyat Amerika yang direpresentasikan oleh kekuatan politik di dalam Senate Amerika.

Dan yang mengagalkan Donald Trump berkuasa lagi saat pemilihan tahun 2020 adalah rakyat Amerika, bukan Obama.

Bahkan Donald Trump yang menjabat sebagai presiden aktif saja tidak bisa memaksakan kemenangannya di pemilihan 2020 lalu. Lantas, pada "cawe-cawe" Obama bagian mana yang mau dijadikan referensi?

"Everybody in the world is capable of democratic development. Some people in the world are unlucky enough to get stuck with really bad political leadership and with really bad political institutions," kata Condoleezza Rice; Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di kepemimpinan Presiden George W. Bush.

Mudah-mudah kita tidak termasuk kategori masyarakat "unlucky enough" yang digambarkan Condoleezza Rice, karena sebenarnya kita masih yakin bahwa kita memiliki penguasa dengan kategori "good political leadership" di satu sisi dan masih memiliki "good political institution" di sisi lain. Semoga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com