Jadi Jokowi tidak punya wewenang lagi menentukan nasib bangsa ini dalam kapasitas sebagai presiden pilihan rakyat setelahnya. Wewenang itu akan berpindah ke presiden yang baru, terlepas barkategori "penerus" atau bukan "penerus" Jokowi.
Nah, jika Jokowi mengklaim "cawe-cawe" yang dia lakukan adalah untuk kepentingan bangsa setelah tidak lagi jadi presiden, maka Jokowi sudah mengedepankan preferensi pribadinya untuk periode 2024-2029, jauh di atas kepentingan pemilih.
Jelas-jelas logika tersebut "offside," karena mengesampingkan kedaulatan rakyat untuk masa kepemimpinan 2024-2029.
Karena itu, keputusan untuk "cawe-cawe" yang disampaikan dengan bangga tersebut perlu diberi kartu kuning dan diberi peringatan yang cukup keras.
Dan ketiga, dari sisi political leadership, Jokowi sejatinya berkewajiban mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin baru yang jauh lebih baik darinya, bukan malah menciptakan follower dan penerus.
"The function of leadership is to produce more leaders, not more followers," ucap Ralph Nader pada suatu waktu.
Jadi "cawe-cawe" Jokowi tidak saja mengangkangi logika demokrasi di mana kedaulatan rakyat seharusnya menjadi landasan dasar pemimpin terpilih pasca-Jokowi (bukan berlandaskan blue print buatan Jokowi), tapi juga menghancurkan jembatan regenerasi kepemimpinan nasional kita ke depannya.
Bagaimana mungkin regenerasi kepemimpinan nasional terbentuk, jika yang terjadi sebenarnya adalah "regenerasi Jokowi", yakni pemimpin yang akan mengabdi hanya kepada kepentingan Jokowi dan bekerja berdasarkan "blue print" yang telah ditetapkan oleh Jokowi.
Legitimasi Jokowi semestinya sudah usai pada Oktober 2024 nanti, lantas mengapa blue print dan kepentingan Jokowi harus dipatuhi dan diikuti oleh presiden terpilih yang bekerja untuk jangka waktu lima tahun setelah Jokowi tak lagi punya legitimasi? Bukankah hal itu sulit diterima akal sehat?
Bagaimana jika ternyata keinginan rakyat berbeda dengan hasrat Jokowi? Lalu bagaimana pula dengan kreatifitas presiden baru, apakah tidak boleh ia kreatif berdasarkan platform politiknya sendiri yang telah di-approve oleh rakyat via pemilihan presiden tahun 2024 nanti?
Kembali berkaca ke Amerika, seperti para pengamat yang membandingkan cawe-cawe Jokowi dengan Obama, Obama tidak bisa melarang Donald Trump menjadi kandidat presiden dan tidak menggunakan kekuasaannya sebagai presiden untuk menghalangi terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Sama sekali tak bisa.
Dan Obama juga tak bisa melarang Donald Trump untuk membatalkan UU Obamacare.
Yang membatalkan aksi Donald Trump untuk membabat Obamacare adalah kekuatan rakyat Amerika yang direpresentasikan oleh kekuatan politik di dalam Senate Amerika.
Dan yang mengagalkan Donald Trump berkuasa lagi saat pemilihan tahun 2020 adalah rakyat Amerika, bukan Obama.
Bahkan Donald Trump yang menjabat sebagai presiden aktif saja tidak bisa memaksakan kemenangannya di pemilihan 2020 lalu. Lantas, pada "cawe-cawe" Obama bagian mana yang mau dijadikan referensi?
"Everybody in the world is capable of democratic development. Some people in the world are unlucky enough to get stuck with really bad political leadership and with really bad political institutions," kata Condoleezza Rice; Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di kepemimpinan Presiden George W. Bush.
Mudah-mudah kita tidak termasuk kategori masyarakat "unlucky enough" yang digambarkan Condoleezza Rice, karena sebenarnya kita masih yakin bahwa kita memiliki penguasa dengan kategori "good political leadership" di satu sisi dan masih memiliki "good political institution" di sisi lain. Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.