Peningkatan harga bea cukai rokok tembakau merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengendalikan tembakau yang direkomendasikan oleh FCTC.
Ketika harga rokok menjadi lebih mahal, masyarakat cenderung enggan membeli atau mengurangi konsumsi rokok.
Hal ini terlihat dari penelitian Ramjani, dkk (2017) yang menemukan penurunan konsumsi rokok oleh 153 remaja di Kuningan yang sebelumnya merokok sembilan batang per hari, namun sekarang hanya tujuh batang.
Hal ini tidak berlaku untuk perokok dewasa. Mekanisme pengaturan harga impor saja tidaklah cukup, karena diperlukan pembatasan yang bersifat nonharga secara keseluruhan sesuai dengan FCTC.
Orang dewasa yang memiliki penghasilan tetap akan tetap membeli rokok meskipun harganya mahal. Akibatnya, pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan lain akan semakin berkurang, termasuk pemenuhan kebutuhan pangan yang bergizi.
Penelitian yang dilakukan oleh Amrullah dkk pada 2022, menunjukkan bahwa dari 285.908 rumah tangga yang dijadikan sampel, setiap seratus ribu rupiah dalam pengeluaran untuk membeli rokok tembakau berdampak pada penurunan konsumsi padi-padian sebesar Rp 8.453, umbi-umbian sebesar Rp 3.980, ikan/udang/cumi/kerang sebesar Rp 3.750, daging sebesar Rp 1.411, telur dan susu sebesar Rp 2.802, sayur-sayuran sebesar Rp 4.769, kacang-kacangan sebesar Rp 1.158, dan buah-buahan sebesar Rp 2.243.
Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Semba, dkk pada 2011, yang menunjukkan bahwa seorang ayah yang merokok dari kalangan masyarakat miskin rentan mengalami masalah pangan. Dampak negatifnya pada kesehatan dan kesejahteraan anak-anak.
Kenaikan harga tanpa perlindungan industri domestik yang memadai juga dapat mengancam kesejahteraan petani.
Dilansir dari money.kompas.com, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan bahwa "kenaikan cukai yang sangat tinggi dan tidak terprediksi yang dapat melemahkan seluruh segmen dalam ekosistem IHT. Berbagai kebijakan tersebut berdampak juga ke hulu mata rantai, serapan panen berkurang, serta penurunan produktivitas."
Kebijakan kenaikan cukai impor rokok ini hanya menyelesaikan masalah secara sementara dan bahkan menimbulkan masalah baru dalam ketahanan pangan yang harus diperhatikan secara mendalam oleh pemerintah.
Dilema ini dapat diatasi dengan cara pemerintah melakukan ratifikasi terhadap FCTC yang menyediakan panduan sistematis dan komprehensif, serta mempertimbangkan berbagai pihak yang berkepentingan dan sasaran kebijakan yang dituju.
Akhirnya, alasan untuk menolak ratifikasi FCTC di Indonesia sudah tidak lagi dianggap relevan dalam hal ekonomi.
Sekarang, hal ini bergantung pada apakah pemangku kebijakan benar-benar memprioritaskan perekonomian secara keseluruhan dengan mengadopsi FCTC ke dalam undang-undang nasional atau apakah ada motif tersembunyi di balik perdebatan yang sengit hanya demi keuntungan sekelompok kecil.
Pemilu 2024 mendatang memberikan kesempatan yang baik bagi kita untuk memilih dan mendukung calon perwakilan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif yang sungguh-sungguh berkomitmen dalam pengendalian rokok tembakau demi menjaga ketahanan pangan nasional.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.