Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Zikri
Mahasiswa

Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi di Universitas Indonesia

Lemahnya Pengendalian Rokok, Rawan Ketahanan Makanan Pokok

Kompas.com - 29/05/2023, 06:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERINGATAN Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 31 Mei tiap tahunnya memberikan peluang penting bagi Indonesia untuk mengatasi masalah pengendalian tembakau dalam rangka ketahanan pangan nasional.

Dalam kampanye “We need food not tobacco”, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyoroti kerusakan lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman pangan akibat produksi tembakau yang tinggi untuk industri rokok, yang mengakibatkan penurunan kesuburan tanah dan meningkatkan risiko kekeringan.

Di Indonesia, isu ketahanan pangan lebih menekankan pada kesejahteraan petani lokal yang masih minim dan kekurangan gizi akibat lemahnya pengendalian terhadap tembakau.

Dalam mengurangi prevalensi konsumsi rokok tembakau, berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia layak diapresiasi, seperti peningkatan cukai rokok, larangan menjual rokok dalam kemasan kecil (ketengan), dan peringatan kesehatan pada bungkus rokok.

Namun, sayangnya upaya tersebut belum mencapai hasil yang optimal. Berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2021, jumlah perokok dewasa di Indonesia masih relatif tinggi.

Jumlah perokok dewasa meningkat dari 60,3 juta menjadi 69,1 juta pada 2011-2021. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar seperempat penduduk Indonesia merupakan perokok.

Tingginya jumlah perokok di Indonesia tentu menjadi masalah serius, terutama dalam memenuhi kebutuhan nutrisi makanan pokok bagi kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

GATS pada 2021 juga mencatat bahwa konsumsi rokok per bulan dapat mencapai angka Rp 382.091,72.

Fakta di atas menjadi tantangan tersendiri bagi para pemangku kebijakan untuk meninjau ulang berbagai upaya yang telah dilakukan melalui cara yang berbeda, bukan hanya melalui pendekatan kebijakan yang inkramental.

Teori Comprehensive Model of Decision-Making yang dikemukakan oleh Renee Prunty pada 2018, menjelaskan bahwa permasalahan kebijakan harus mempertimbangkan setiap opsi solusi yang potensial dengan memperhatikan manfaat yang paling besar.

Oleh karena itu, diperlukan kajian komprehensif yang melibatkan pemahaman soal akar permasalahan (root problem).

Ratifikasi FCTC

Masih tingginya konsumsi rokok di Indonesia disebabkan oleh fakta bahwa Indonesia belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).

FCTC adalah perjanjian internasional yang bertujuan mengendalikan tembakau secara komprehensif, termasuk pengaturan harga dan nonharga dalam menangani masalah globalisasi epidemi tembakau.

Munculnya perbedaan pendapat utamanya disebabkan adanya pembatasan FCTC yang diyakini memiliki dampak negatif terhadap perekonomian.

Pembatasan tersebut dikhawatirkan akan mengurangi konsumsi rokok, yang pada gilirannya dapat merugikan petani lokal dan menyebabkan penurunan pendapatan per kapita.

Namun, kekhawatiran ini sebenarnya tidak didukung oleh kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Justru, banyak penelitian ilmiah baru-baru ini telah membuktikan hal sebaliknya.

Studi terbaru pada 2022 oleh Ahsan dkk, mengungkap fakta bahwa negara-negara yang telah meratifikasi FCTC, seperti Brasil, Bangladesh, dan Pakistan, tidak mengalami pengaruh signifikan terhadap pendapatan per kapita.

Selain itu, meskipun Tiongkok menjadi pasar rokok terbesar di dunia, ratifikasi FCTC dianggap memiliki dampak yang kecil pada indikator ekonomi makro.

Justifikasi yang diberikan oleh industri rokok terhadap dampak ekonomi dianggap terlalu berlebihan, terutama dalam hal kesejahteraan petani lokal.

Konsumsi rokok dinilai masih didominasi oleh impor daripada produk lokal, sehingga klaim industri rokok mengenai manfaat ekonomi diragukan.

Penelitian oleh Ahsan, dkk (2020) yang membandingkan proporsi impor dan produksi lokal antara Indonesia dengan empat negara lain menunjukkan peningkatan volume impor rokok di Indonesia yang mencapai empat kali lipat, sementara produksi lokalnya menurun periode 1990-2016.

Dengan demikian, manufaktur rokok lokal semakin bergantung pada impor, yang mencakup 83 persen total konsumsi dalam negeri.

Sebaliknya, empat negara lain seperti Mozambik, Pakistan, Zimbabwe, dan Bangladesh, yang telah meratifikasi FCTC, memiliki jumlah ekspor tembakau yang lebih besar.

Selain itu, fakta yang tidak bisa diabaikan adalah prospek biaya untuk menanam tembakau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain.

Survei yang dilakukan oleh Tobacconomics dari University of Illinois di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa biaya input per hektar untuk menanam tembakau mencapai lebih dari Rp 5.700.000, sedangkan tanaman lain hanya sekitar Rp 921.000.

Hal ini juga mempertimbangkan luas lahan yang dibutuhkan untuk menanam tembakau yang lebih besar. Survei yang sama menunjukkan bahwa penghasilan tahunan petani nontembakau lebih tinggi daripada petani tembakau, dengan selisih lebih dari dua juta rupiah.

Dampak yang nyata adalah petani tembakau lokal akan kehilangan kesempatan untuk beralih ke kegiatan ekonomi lain yang lebih menguntungkan, termasuk melakukan budi daya tanaman pangan.

Dengan ratifikasi FCTC, permintaan rokok akan menurun sehingga petani tembakau lokal dapat memproduksi berbagai produk tembakau selain rokok dan menggunakan sebagian lahan mereka untuk menanam komoditas lain, terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional yang lebih terjangkau dan berkualitas.

Dilema kenaikan bea cukai impor rokok tembakau dan ketahanan pangan

Dalam rangka mengatasi banjirnya impor rokok tembakau di Indonesia, pemerintah telah menerapkan kenaikan harga bea cukai sesuai dengan kategori golongan pada Januari 2023, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 109/Pmk.010/2022.

Peraturan ini menetapkan peningkatan rata-rata sebesar 10 persen, yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang mencapai rata-rata 12 persen.

Peningkatan harga bea cukai rokok tembakau merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengendalikan tembakau yang direkomendasikan oleh FCTC.

Ketika harga rokok menjadi lebih mahal, masyarakat cenderung enggan membeli atau mengurangi konsumsi rokok.

Hal ini terlihat dari penelitian Ramjani, dkk (2017) yang menemukan penurunan konsumsi rokok oleh 153 remaja di Kuningan yang sebelumnya merokok sembilan batang per hari, namun sekarang hanya tujuh batang.

Hal ini tidak berlaku untuk perokok dewasa. Mekanisme pengaturan harga impor saja tidaklah cukup, karena diperlukan pembatasan yang bersifat nonharga secara keseluruhan sesuai dengan FCTC.

Orang dewasa yang memiliki penghasilan tetap akan tetap membeli rokok meskipun harganya mahal. Akibatnya, pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan lain akan semakin berkurang, termasuk pemenuhan kebutuhan pangan yang bergizi.

Penelitian yang dilakukan oleh Amrullah dkk pada 2022, menunjukkan bahwa dari 285.908 rumah tangga yang dijadikan sampel, setiap seratus ribu rupiah dalam pengeluaran untuk membeli rokok tembakau berdampak pada penurunan konsumsi padi-padian sebesar Rp 8.453, umbi-umbian sebesar Rp 3.980, ikan/udang/cumi/kerang sebesar Rp 3.750, daging sebesar Rp 1.411, telur dan susu sebesar Rp 2.802, sayur-sayuran sebesar Rp 4.769, kacang-kacangan sebesar Rp 1.158, dan buah-buahan sebesar Rp 2.243.

Temuan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya oleh Semba, dkk pada 2011, yang menunjukkan bahwa seorang ayah yang merokok dari kalangan masyarakat miskin rentan mengalami masalah pangan. Dampak negatifnya pada kesehatan dan kesejahteraan anak-anak.

Kenaikan harga tanpa perlindungan industri domestik yang memadai juga dapat mengancam kesejahteraan petani.

Dilansir dari money.kompas.com, Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan bahwa "kenaikan cukai yang sangat tinggi dan tidak terprediksi yang dapat melemahkan seluruh segmen dalam ekosistem IHT. Berbagai kebijakan tersebut berdampak juga ke hulu mata rantai, serapan panen berkurang, serta penurunan produktivitas."

Kebijakan kenaikan cukai impor rokok ini hanya menyelesaikan masalah secara sementara dan bahkan menimbulkan masalah baru dalam ketahanan pangan yang harus diperhatikan secara mendalam oleh pemerintah.

Dilema ini dapat diatasi dengan cara pemerintah melakukan ratifikasi terhadap FCTC yang menyediakan panduan sistematis dan komprehensif, serta mempertimbangkan berbagai pihak yang berkepentingan dan sasaran kebijakan yang dituju.

Akhirnya, alasan untuk menolak ratifikasi FCTC di Indonesia sudah tidak lagi dianggap relevan dalam hal ekonomi.

Sekarang, hal ini bergantung pada apakah pemangku kebijakan benar-benar memprioritaskan perekonomian secara keseluruhan dengan mengadopsi FCTC ke dalam undang-undang nasional atau apakah ada motif tersembunyi di balik perdebatan yang sengit hanya demi keuntungan sekelompok kecil.

Pemilu 2024 mendatang memberikan kesempatan yang baik bagi kita untuk memilih dan mendukung calon perwakilan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif yang sungguh-sungguh berkomitmen dalam pengendalian rokok tembakau demi menjaga ketahanan pangan nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian Hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian Hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor Sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor Sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com