Namun, kekhawatiran ini sebenarnya tidak didukung oleh kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Justru, banyak penelitian ilmiah baru-baru ini telah membuktikan hal sebaliknya.
Studi terbaru pada 2022 oleh Ahsan dkk, mengungkap fakta bahwa negara-negara yang telah meratifikasi FCTC, seperti Brasil, Bangladesh, dan Pakistan, tidak mengalami pengaruh signifikan terhadap pendapatan per kapita.
Selain itu, meskipun Tiongkok menjadi pasar rokok terbesar di dunia, ratifikasi FCTC dianggap memiliki dampak yang kecil pada indikator ekonomi makro.
Justifikasi yang diberikan oleh industri rokok terhadap dampak ekonomi dianggap terlalu berlebihan, terutama dalam hal kesejahteraan petani lokal.
Konsumsi rokok dinilai masih didominasi oleh impor daripada produk lokal, sehingga klaim industri rokok mengenai manfaat ekonomi diragukan.
Penelitian oleh Ahsan, dkk (2020) yang membandingkan proporsi impor dan produksi lokal antara Indonesia dengan empat negara lain menunjukkan peningkatan volume impor rokok di Indonesia yang mencapai empat kali lipat, sementara produksi lokalnya menurun periode 1990-2016.
Dengan demikian, manufaktur rokok lokal semakin bergantung pada impor, yang mencakup 83 persen total konsumsi dalam negeri.
Sebaliknya, empat negara lain seperti Mozambik, Pakistan, Zimbabwe, dan Bangladesh, yang telah meratifikasi FCTC, memiliki jumlah ekspor tembakau yang lebih besar.
Selain itu, fakta yang tidak bisa diabaikan adalah prospek biaya untuk menanam tembakau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain.
Survei yang dilakukan oleh Tobacconomics dari University of Illinois di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa biaya input per hektar untuk menanam tembakau mencapai lebih dari Rp 5.700.000, sedangkan tanaman lain hanya sekitar Rp 921.000.
Hal ini juga mempertimbangkan luas lahan yang dibutuhkan untuk menanam tembakau yang lebih besar. Survei yang sama menunjukkan bahwa penghasilan tahunan petani nontembakau lebih tinggi daripada petani tembakau, dengan selisih lebih dari dua juta rupiah.
Dampak yang nyata adalah petani tembakau lokal akan kehilangan kesempatan untuk beralih ke kegiatan ekonomi lain yang lebih menguntungkan, termasuk melakukan budi daya tanaman pangan.
Dengan ratifikasi FCTC, permintaan rokok akan menurun sehingga petani tembakau lokal dapat memproduksi berbagai produk tembakau selain rokok dan menggunakan sebagian lahan mereka untuk menanam komoditas lain, terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional yang lebih terjangkau dan berkualitas.
Dalam rangka mengatasi banjirnya impor rokok tembakau di Indonesia, pemerintah telah menerapkan kenaikan harga bea cukai sesuai dengan kategori golongan pada Januari 2023, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 109/Pmk.010/2022.
Peraturan ini menetapkan peningkatan rata-rata sebesar 10 persen, yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya yang mencapai rata-rata 12 persen.