ADA pertanyaan ‘nakal’, apakah dengan sistem pemilihan presiden (pilpres) yang ada saat ini, mungkinkah dari kalangan minoritas, terutama suku di luar Pulau Jawa atau bukan orang Jawa jadi presiden di Indonesia?
Secara konstitusi mungkin saja. Karena dalam Pasal 6A UUD 1945, disebutkan syarat presiden antara lain, adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.
Namun dalam realitas politik akan sulit diwujudkan. Mengapa? karena sistem pilpres di Indonesia belum memungkinkan, cenderung menipiskan peluang itu.
Dengan menggunakan sistem suara terbanyak (popular vote) dalam pilpres, akan ada kecenderungan menguatnya politik identitas untuk meraup suara dari ceruk pemilih dengan latar identitas yang sama, terutama dari kelompok mayoritas.
Sistem pilpres yang bersandar pada popular vote, memungkinkan ‘mayoritas’ selalu tampil sebagai pemenang. Apalagi bila kemudian latar identitas calon presiden dikelola untuk menggiring dan meraup sentimen pemilih.
Baca juga: Mempersempit Peluang Politisi Kaget dan Caleg Pansos
Dalam kultur masyarakat dengan kecenderungan politik identitas masih kuat, etnik atau sub etnik dengan populasi relatif sedikit memiliki peluang yang tipis, bila tak mau dikatakan tidak ada, untuk terpilih atau dipilih sebagai kepala negara.
Dengan politik identitas, akan selalu tampil ‘tirani’ mayoritas. Oleh kelompok kepentingan, demi meraih kekuasaan, identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrem, dengan tujuan mendapat dukungan politik.
Insentif elektoral lewat politik identitas biasanya ingin didapat oleh kontestan politik dari orang-orang yang merasa atau mengidentifikasi diri 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Misalnya, paradigma formulasi atau konfigurasi pasangan ‘Jawa-luar Jawa’ dalam menentukan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia, sejatinya sedari awal telah memperlihatkan adanya logika fallacy dan bias politik identitas.
Tentu saja, karena dalam logika dan hitungan politik semacam itu, ceruk politik mayoritas secara etnik atau suku sudah diletakan di awal sebagai faktor determinan mendorong kandidasi ketimbang kapasitas, integritas dan jejak rekam kandidat kepala negara.
Dalam logika dan kalkulasi politik yang menempatkan keunggulan latar identitas dalam segi jumlah populasi, menjadikan minoritas secara identitas (suku, agama dan ras) dengan sendirinya harus menurunkan harapan menjadi orang nomor satu di republik ini.
Selain politik identitas, ketidakadilan distributif dan struktural, yang berdampak pada distribusi kualitas penyelenggaraan pendidikan menjadi tidak merata di setiap daerah, terutama di luar Pulau Jawa, makin memperkecil peluang untuk turut dalam kandidasi.
Tidak mudah bagi generasi bangsa dari daerah-daerah dengan mutu penyelenggaraan pendidikan yang rendah untuk bersaing secara terbuka dalam berbagai bidang, di semua level, dengan mereka yang berasal dari daerah yang lebih maju pendidikannya.
Ketidakadilan distributif dalam pendidikan bisa dilihat dari rilis Webometrics. Lembaga yang rutin melakukan pemeringkatan universitas-universitas terbaik di dunia itu, tahun 2023 ini mengkonfirmasi bahwa dari 10 universitas terbaik di Indonesia, sembilan di antaranya ada di Pulau Jawa.
Dengan disparitas atau ketimpangannya begitu menonjol, dari luar Jawa jangankan untuk bisa menjadi presiden yang dipilih oleh jutaan orang (kalah jumlah populasi), untuk menjadi menteri saja sulit. Kalau pun bisa, hampir dipastikan itu lebih karena pertimbangan politik atau kedekatan personal, bukan pada merit sistem.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.