Bisa dilihat, komposisi dari kabinet ke kabinet, semua rezim pemerintahan, terutama di era reformasi, didominasi dari Pulau Jawa.
Dalam kabinet Presiden Jokowi periode kedua ini, misalnya, dari 34 menteri, 28 orang di antaranya berasal dari satu suku, yaitu Jawa.
Lumrah bila kemudian, orang Maluku merasa kecewa, karena sudah 45 tahun, tidak ada figur mereka diberi kesempatan menjadi menteri. Terakhir G.A. Siwabessy, Menteri Kesehatan tahun 1978. Padahal sejak periode awal kemerdekaan, orang Maluku selalu ada dalam komposisi kabinet.
Realitas politik semacam ini, menyebabkan keadilan menjadi kontradiktif, karena tak disertai distribusi kekuasaan yang merata (no distribution of justice without distribution of power).
Sementara pada titik yang sama, demokrasi elektoral melalui pilpres yang bertumpu pada popular vote dan one man one vote pun bergantung pada kualitas para pemilih, yang tentu saja terbentuk melalui pendidikan yang berkualitas.
Memberikan sinyalemen yang kuat kepada kita, bahwa mestinya atau saatnya sirkulasi elite, melalui sistem pilpres yang dianut sekarang ini harus ditinjau atau ditata ulang. Sembari distribusi atau penyelenggaraan pendidikan dibuat lebih adil dan merata.
Soal ini tentu kita bisa belajar dari apa yang telah dilakukan di Amerika Serikat, dalam memilih sistem pilpres, seperti yang saya tulis sebelumnya di kolom ini “Sistem Pilpres ‘Diskriminatif’ Melanggengkan Ketimpangan” (Kompas.com, 26/05/2023).
Negara besar yang dihuni berbagai etnik, dengan proporsi sebaran populasi tidak sama pada setiap negara bagian, juga turut memikirkan dan mengantisipasi situasi politik yang mungkin terjadi.
Saat merumuskan sistem pilpres di Amerika Serikat, Konvensi Konstitusi negara itu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kecenderungan politik identitas yang bakal mengemuka, untuk kemudian diantisipasi.
Keraguan terhadap kapasitas pemilih serta ketakutan bahwa tanpa pengetahuan yang memadai terkait para kandidat, pemilih akan cenderung memilih kandidat yang punya kesamaan ‘identitas’ atau berasal dari negara bagian mereka sendiri, turut dipertimbangan.
Selain itu, dipertimbangkan pula kekhawatiran pilpres dengan sistem popular vote akan membuat negara bagian berpenduduk banyak lebih mendominasi pemerintahan dan kemudian mengesampingkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit.
Sehingga untuk mengantisipasinya, Amerika Serikat kemudian menetapkan sistem yang lebih adil dan dapat mengakomodasi kepentingan negara bagian yang sedikit jumlah populasi.
Itu pula mengapa mekanisme pemilihan dengan suara terbanyak atau popular vote tidak menjadi pilihan dalam pilpres di Amerika Serikat, meski keinginan itu sempat mengemuka dalam Konvensi Konstitusi.
Baca juga: Antara Korupsi Politik dan Politisasi Korupsi
Justru yang dipilih adalah sistem electoral college. Satu sistem yang menghendaki capres harus menang di lebih banyak negara bagian, yang besar maupun sedikit populasi. Seperti lomba banyak-banyakan menang di negara bagian, begitu kira-kira.
Sebuah sistem yang dalam praktiknya memang terlihat lebih rumit, namun dapat menjadikan semua negara bagian dan termasuk warganya, ada dalam posisi yang sama penting, strategis dan ‘seksi’ secara elektoral.