Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Pilpres Sistem "Popular Vote" Suburkan Politik Identitas

Kompas.com - 28/05/2023, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bisa dilihat, komposisi dari kabinet ke kabinet, semua rezim pemerintahan, terutama di era reformasi, didominasi dari Pulau Jawa.

Dalam kabinet Presiden Jokowi periode kedua ini, misalnya, dari 34 menteri, 28 orang di antaranya berasal dari satu suku, yaitu Jawa.

Lumrah bila kemudian, orang Maluku merasa kecewa, karena sudah 45 tahun, tidak ada figur mereka diberi kesempatan menjadi menteri. Terakhir G.A. Siwabessy, Menteri Kesehatan tahun 1978. Padahal sejak periode awal kemerdekaan, orang Maluku selalu ada dalam komposisi kabinet.

Realitas politik semacam ini, menyebabkan keadilan menjadi kontradiktif, karena tak disertai distribusi kekuasaan yang merata (no distribution of justice without distribution of power).

Sementara pada titik yang sama, demokrasi elektoral melalui pilpres yang bertumpu pada popular vote dan one man one vote pun bergantung pada kualitas para pemilih, yang tentu saja terbentuk melalui pendidikan yang berkualitas.

Memberikan sinyalemen yang kuat kepada kita, bahwa mestinya atau saatnya sirkulasi elite, melalui sistem pilpres yang dianut sekarang ini harus ditinjau atau ditata ulang. Sembari distribusi atau penyelenggaraan pendidikan dibuat lebih adil dan merata.

Soal ini tentu kita bisa belajar dari apa yang telah dilakukan di Amerika Serikat, dalam memilih sistem pilpres, seperti yang saya tulis sebelumnya di kolom ini “Sistem Pilpres ‘Diskriminatif’ Melanggengkan Ketimpangan(Kompas.com, 26/05/2023).

Negara besar yang dihuni berbagai etnik, dengan proporsi sebaran populasi tidak sama pada setiap negara bagian, juga turut memikirkan dan mengantisipasi situasi politik yang mungkin terjadi.

Saat merumuskan sistem pilpres di Amerika Serikat, Konvensi Konstitusi negara itu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kecenderungan politik identitas yang bakal mengemuka, untuk kemudian diantisipasi.

Keraguan terhadap kapasitas pemilih serta ketakutan bahwa tanpa pengetahuan yang memadai terkait para kandidat, pemilih akan cenderung memilih kandidat yang punya kesamaan ‘identitas’ atau berasal dari negara bagian mereka sendiri, turut dipertimbangan.

Selain itu, dipertimbangkan pula kekhawatiran pilpres dengan sistem popular vote akan membuat negara bagian berpenduduk banyak lebih mendominasi pemerintahan dan kemudian mengesampingkan negara-negara bagian yang berpenduduk sedikit.

Sehingga untuk mengantisipasinya, Amerika Serikat kemudian menetapkan sistem yang lebih adil dan dapat mengakomodasi kepentingan negara bagian yang sedikit jumlah populasi.

Itu pula mengapa mekanisme pemilihan dengan suara terbanyak atau popular vote tidak menjadi pilihan dalam pilpres di Amerika Serikat, meski keinginan itu sempat mengemuka dalam Konvensi Konstitusi.

Baca juga: Antara Korupsi Politik dan Politisasi Korupsi

Justru yang dipilih adalah sistem electoral college. Satu sistem yang menghendaki capres harus menang di lebih banyak negara bagian, yang besar maupun sedikit populasi. Seperti lomba banyak-banyakan menang di negara bagian, begitu kira-kira.

Sebuah sistem yang dalam praktiknya memang terlihat lebih rumit, namun dapat menjadikan semua negara bagian dan termasuk warganya, ada dalam posisi yang sama penting, strategis dan ‘seksi’ secara elektoral.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

Nasional
Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

Nasional
Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

Nasional
Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

Nasional
Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

Nasional
Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

Nasional
Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

Nasional
Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

Nasional
Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

Nasional
Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com