KINI publik kembali disibukkan dengan hiruk-pikuk pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), setelah partai politik (parpol) ramai-ramai mendaftarkan calon anggota legislatif (caleg) ke Komisi Pemilihan Umum.
Parpol kontestan Pemilu 2024 sudah pasang kuda-kuda, para caleg tak kalah sibuknya. Bagi yang memiliki kemampuan, kapasitas dan integritas untuk menjadi wakil rakyat, bukan masalah diusung oleh parpol manapun.
Akan menjadi masalah jika caleg yang maju adalah politisi kaget, mendadak berseragam parpol, termasuk politisi kutu loncat, dan juga mereka yang memiliki rekam jejak buruk alias politisi busuk.
Menjadi masalah karena terbuka peluang lembaga legislatif baik di level lokal maupun nasional kembali diisi oleh politisi gagap. Mereka sejak berkecimpung di politik dengan menjadi caleg, hanya bisa panjat sosial (pansos) dan tebar pesona di media sosial.
Inilah yang mesti diantisipasi. Sebab proses dan siklus politik negeri ini masih membuka peluang bagi politisi kaget dan caleg pansos maju berkontestasi hingga kemudian terpilih dalam pemilu.
Sistem politik turut memberikan kontribusi besar bagi buruknya rekrutmen politik. Sistem yang ada sekarang masih cenderung tambal-sulam, memberikan insentif terhadap stagnasi dan dekadensi parpol.
Mudahnya pembentukan parpol dan longgarnya aturan atau belum mumpuninya instrumen regulasi yang dapat mendukung pelembagaan dan pendewasaan parpol menjadi penyebab utama.
Munculnya sejumlah parpol baru yang belum memiliki tradisi dan rekrutmen caleg yang jelas atau kurang memadai, memungkinkan siapa saja bisa tiba-tiba (kaget) maju menjadi caleg.
Sekalipun sebelumnya pernah ada keinginan sejumlah kalangan agar dibuat aturan sehingga parpol hanya boleh mencalonkan orang-orang yang memiliki kartu anggota dan telah menjadi anggota parpol sekurang-kurangnya dua tahun.
Namun pada kenyataannya gagasan semacam itu sulit diwujudkan bila sejumlah parpol kontestan pemilu justru baru berdiri, dibentuk atau melakukan konsolidasi internal dan rekrutmen, satu tahun menjelang pendaftaran bakal caleg atau pemilu.
Padahal dengan mengajukan caleg yang sekurang-kurangnya telah dua tahun menjadi kader parpol, sangat diperlukan untuk mendorong penataan sistem kaderisasi dan akuntabilitas rekrutmen kepemimpinan politik.
Dengan cara itu parpol akan dipaksa untuk berbenah dan tidak sekadar menjadi batu loncatan bagi para pemburu kekuasaan, atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang sedang mencari peruntungan, mengadu nasib lewat jalur politik.
Kasus Aldi Taher yang mengajukan diri menjadi caleg dari Partai Bulan Bintang (PBB) untuk DPRD DKI Jakarta dan dari Partai Perindo untuk kursi DPR RI pada pemilu kali ini, sesungguhnya mengonfirmasi adanya kelemahan pada sistem rekrutmen politik.
Selain sistem politik yang perlu dibenahi, diperlukan upaya reformasi internal parpol. Misalnya, dalam penyusunan daftar caleg perlu pembagian yang seimbang antara pilihan partai (party vote) dengan keinginan rakyat (popular vote).
Hal ini diharapkan mampu mendorong transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi di internal parpol. Karena dengan mekanisme semacam itu dapat ’memaksa’ politisi dan partainya untuk semakin dekat, terbuka dan akuntabel terhadap konstituen.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.