Setelah Fransisca meninggal pun, Ita mengurusi jenazahnya dengan teliti. Membersihkan tubuhnya, membelikan baju, mengantarnya ke tempat kremasi, hingga membuang abu Fransisca.
"Misalnya kayak saya dengan fransisca. Sesudah itu saya tidur, minum obat tidur. Itu kan terus-menerus tidak mengalami healing," ucap Ita.
Baca juga: Naskah Pidato 21 Mei 1998, Yusril Ungkap Alasan Soeharto Pilih “Berhenti” ketimbang “Mundur”
Momen lain yang terus terngiang adalah ketika dia menyaksikan mayat Ita Martadinata, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan korban pemerkosaan Mei 1998, yang tewas terbunuh di rumahnya.
Pembunuhan itu terjadi beberapa waktu sebelum Ita Martadinata bersaksi di Sidang HAM PBB, di New York, Amerika Serikat, yang mengungkapkan adanya pemerkosaan massal pada tahun 1998.
Ita mengaku tidak sanggup melihat mayat rekannya dengan luka menganga di bagian leher. Setelah lima menit menyaksikan kekejaman tersebut, ia pamit pulang kembali ke kantornya, organisasi perempuan bernama Kalyanamitra.
Kalyanamitra beralamat di Jalan Kaca Jendela, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sesampainya di kantor, Ita hanya bisa diam, lemas, dan sesekali muntah-muntah.
Baca juga: Fransisca, Gadis Cilik Korban Pemerkosaan Mei 1998 dan Cerita yang Kian Terkubur
Memori-memori itu terus berkelindan di kepala Ita. Sampai saat ini, dia mengaku masih mengalami trauma dan sulit melihat darah. Memasuki bulan Mei, tubuh ita sesekali limbung.
"Sampai sekarang saya masih agak trauma. Saya enggak bisa melihat hal-hal yang berdarah-darah. Padahal dulu waktu saya menangani Fransisca itu betul-betul saya tangani, saya ambilin (pecahan botol kaca di tubuhnya). Tapi sekarang saya enggak bisa," cerita Ita.
Puncaknya, dia turut menjadi sasaran teror. Teror itu melibatkan dua orang anak perempuannya yang masih kecil-kecil.
Anak-anak Ita terancam diculik, jika dia masih bersikeras membantu para korban pemerkosaan yang mayoritas etnis Tionghoa.
Sebagai seorang ibu, Ita menangis sejadi-jadinya. Ia khawatir anak-anaknya justru terancam karena pekerjaannya yang memperjuangkan keadilan.
"Saya punya dua anak, perempuan kecil-kecil. Itu juga mau diculik. Dan saya juga dapatkan teror yang luar biasa," cerita Ita.
"(Mereka bilang), 'Bu Ita, kalau kamu terus-menerus, melakukan pendampingan terhadap korban, anakmu saya culik'. Itu benar (ada ancaman seperti itu)," imbuh dia.
Baca juga: Kekecewaan Keluarga Korban Kerusuhan Mei 1998: Dilempar Sana-sini seperti Bola Pingpong...
Untuk mengantisipasi, orangtuanya datang dari Yogyakarta ke Jakarta. Anak-anak Ita dibawa ke kota gudeg itu dan dititipkan sementara waktu sampai dia yakin situasi kembali kondusif.
Sembari menjemput anak-anak di Jakarta, ayah ibunya berpesan agar Ita fokus bekerja membantu para korban pemerkosaan untuk memperjuangkan hak-haknya.
"Tapi saya tidak dibantu untuk di-healing. Dan saya sendiri juga tidak sadar saya butuh healing. Dan itu ternyata problemnya berat. Puncaknya saya kena cancer, saya harus terapi dan harus terapi," jelas Ita.
Berdasarkan data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, korban pemerkosaan massal mencapai 165 orang. Belum lagi dihitung dari para korban yang akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri.
Namun menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk kala itu, korban pemerkosaan mencapai 66 orang.
Hingga saat ini, kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 tetap menjadi misteri. Pelaku atau dalang di balik peristiwa tersebut belum terungkap hingga 25 tahun kemudian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.