Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Ita Fatia Nadia Dampingi Korban Pemerkosaan Mei 1998: Diintimidasi, Dicemooh, hingga Luka Batin

Kompas.com - 25/05/2023, 05:17 WIB
Fika Nurul Ulya,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Raut ngeri dan sedih nampak berbaur di wajah Ita Fatia Nadia, salah seorang Tim Relawan Kemanusiaan Mei 1998, saat menceritakan fenomena kelam di tahun itu.

Sesekali suaranya bergetar, meski insidennya sudah lebih dari 25 tahun yang lalu.

Sebagai relawan, dia menjadi saksi hidup dari kekejaman manusia yang tidak bisa lagi ditolerir. Dengan mata kepalanya sendiri, Ita melihat banyak korban rudapaksa massal yang sekarat hingga meninggal dunia, maupun yang masih hidup dengan trauma berkepanjangan.

Fenomena pemerkosaan massal terjadi di tengah keosnya kondisi Ibu Kota, sejak terjadi krisis ekonomi tahun 1997.

Di tahun itu, banyak pemecatan massal hingga orang sulit makan. Akhirnya, masyarakat dan mahasiswa demonstrasi turun ke jalan, melakukan penjarahan di mana-mana sampai menyerang fasilitas publik dan pusat perbelanjaan.

Baca juga: Fahri Hamzah, Manusia Kampung dari NTB di Tengah Gerakan Reformasi Mei 1998

Puncaknya pada 11-15 Mei 1998, Ita menerima banyak sekali aduan pemerkosaan etnis Tionghoa melalui telepon atau radio panggil (pager) miliknya.

Di masa-masa itu lah, dia mendampingi para korban untuk mendapat keadilan, atau paling tidak membantu mereka menyembuhkan luka mendalam.

Trauma mendalam

Membantu para korban cukup membuat Ita trauma, utamanya ketika laporan kejadian rudapaksa massal silih berganti setiap hari, setiap waktu.

Di momen penuh tantangan itu, Ita dan tim harus bekerja cepat dan tepat membantu para korban. Ia mengaku tidak punya waktu untuk memperhatikan guncangan psikis yang dialami.

Hal itu kata Ita, menjadi satu kekeliruan yang terus dibiarkan. Padahal, sebagai pendamping, Ita dan tim juga memerlukan pendampingan dan pelepasan luka batin.

"Pada bulan Mei itu para pendamping, kita, tidak meng-healing. Jadi waktu itu kita benar-benar untuk korban. Kekeliruan kami, kami tidak ada jeda. Jadi healing-nya itu tidak terjadi untuk para pendamping atau yang mendampingi," kata Ita kepada Kompas.com melalui wawancara daring, Rabu (17/5/2023) malam.

Baca juga: Pembunuhan Ita Martadinata, Pukulan Telak yang Bungkam Korban Pemerkosaan Mei 1998

Dalam satu momen, Ita bercerita harus minum obat tidur. Momen itu terjadi ketika ia mendampingi seorang gadis cilik keturunan Tionghoa berusia 11 tahun korban pemerkosaan, Fransisca.

Mulanya, dia mendapat telepon sekitar tanggal 14 Mei 2023 untuk menemui Fransisca di Kota Lama, Tangerang.

Kala itu, Fransisca sekarat mengalami pendarahan akibat kemaluannya dirusak memakai botol beling yang dipecahkan di dalam. Kakak dan ibunya telah lebih dulu meninggal karena kasus pemerkosaan pula.

Melihatnya sekarat, Ita memiliki firasat kalau Fransisca segera menyusul sang ibu dan kakak bila tidak kuat.

Setelah Fransisca meninggal pun, Ita mengurusi jenazahnya dengan teliti. Membersihkan tubuhnya, membelikan baju, mengantarnya ke tempat kremasi, hingga membuang abu Fransisca.

"Misalnya kayak saya dengan fransisca. Sesudah itu saya tidur, minum obat tidur. Itu kan terus-menerus tidak mengalami healing," ucap Ita.

Baca juga: Naskah Pidato 21 Mei 1998, Yusril Ungkap Alasan Soeharto Pilih “Berhenti” ketimbang “Mundur”

Momen lain yang terus terngiang adalah ketika dia menyaksikan mayat Ita Martadinata, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan korban pemerkosaan Mei 1998, yang tewas terbunuh di rumahnya.

Pembunuhan itu terjadi beberapa waktu sebelum Ita Martadinata bersaksi di Sidang HAM PBB, di New York, Amerika Serikat, yang mengungkapkan adanya pemerkosaan massal pada tahun 1998.

Ita mengaku tidak sanggup melihat mayat rekannya dengan luka menganga di bagian leher. Setelah lima menit menyaksikan kekejaman tersebut, ia pamit pulang kembali ke kantornya, organisasi perempuan bernama Kalyanamitra.

Kalyanamitra beralamat di Jalan Kaca Jendela, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sesampainya di kantor, Ita hanya bisa diam, lemas, dan sesekali muntah-muntah.

Baca juga: Fransisca, Gadis Cilik Korban Pemerkosaan Mei 1998 dan Cerita yang Kian Terkubur

Memori-memori itu terus berkelindan di kepala Ita. Sampai saat ini, dia mengaku masih mengalami trauma dan sulit melihat darah. Memasuki bulan Mei, tubuh ita sesekali limbung.

"Sampai sekarang saya masih agak trauma. Saya enggak bisa melihat hal-hal yang berdarah-darah. Padahal dulu waktu saya menangani Fransisca itu betul-betul saya tangani, saya ambilin (pecahan botol kaca di tubuhnya). Tapi sekarang saya enggak bisa," cerita Ita.

Diteror

Puncaknya, dia turut menjadi sasaran teror. Teror itu melibatkan dua orang anak perempuannya yang masih kecil-kecil.

Anak-anak Ita terancam diculik, jika dia masih bersikeras membantu para korban pemerkosaan yang mayoritas etnis Tionghoa.

Sebagai seorang ibu, Ita menangis sejadi-jadinya. Ia khawatir anak-anaknya justru terancam karena pekerjaannya yang memperjuangkan keadilan.

"Saya punya dua anak, perempuan kecil-kecil. Itu juga mau diculik. Dan saya juga dapatkan teror yang luar biasa," cerita Ita.

"(Mereka bilang), 'Bu Ita, kalau kamu terus-menerus, melakukan pendampingan terhadap korban, anakmu saya culik'. Itu benar (ada ancaman seperti itu)," imbuh dia.

Baca juga: Kekecewaan Keluarga Korban Kerusuhan Mei 1998: Dilempar Sana-sini seperti Bola Pingpong...

Untuk mengantisipasi, orangtuanya datang dari Yogyakarta ke Jakarta. Anak-anak Ita dibawa ke kota gudeg itu dan dititipkan sementara waktu sampai dia yakin situasi kembali kondusif.

Sembari menjemput anak-anak di Jakarta, ayah ibunya berpesan agar Ita fokus bekerja membantu para korban pemerkosaan untuk memperjuangkan hak-haknya.

"Tapi saya tidak dibantu untuk di-healing. Dan saya sendiri juga tidak sadar saya butuh healing. Dan itu ternyata problemnya berat. Puncaknya saya kena cancer, saya harus terapi dan harus terapi," jelas Ita.

Berdasarkan data Tim Relawan untuk Kemanusiaan, korban pemerkosaan massal mencapai 165 orang. Belum lagi dihitung dari para korban yang akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri.

Namun menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk kala itu, korban pemerkosaan mencapai 66 orang.

Hingga saat ini, kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 tetap menjadi misteri. Pelaku atau dalang di balik peristiwa tersebut belum terungkap hingga 25 tahun kemudian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Kuasa Hukum Caleg Jawab 'Siap' Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Kuasa Hukum Caleg Jawab "Siap" Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Nasional
Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Nasional
Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Nasional
Ditegur MK Tak Serius Ikuti Sidang, KPU Mengaku Punya Banyak Agenda

Ditegur MK Tak Serius Ikuti Sidang, KPU Mengaku Punya Banyak Agenda

Nasional
Korlantas Sebut Pelat Khusus “ZZ” Terhindar Ganjil-Genap Jika Dikawal

Korlantas Sebut Pelat Khusus “ZZ” Terhindar Ganjil-Genap Jika Dikawal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com