"Kemarin (belum lama), baru ke sini," Ita menimpali.
"Enggak, dibunuh Mbak," timpal lawan bicaranya lagi.
Baca juga: Trauma Maria Sanu akibat Kerusuhan Mei 1998, Menangis Setiap Kali Lewat Mal Klender...
Berdua dengan temannya, ia bergegas ke rumah Ita Martadinata di daerah Sumur Batu, Jakarta Timur.
Rumah tersebut sudah ramai polisi. Sementara orang tua Ita Martadinata duduk di rumah tamu. Ignatius Sandyawan atau yang karib disapa Ita dengan Romo Sandy pun sudah hadir di rumah duka.
Sesampainya dia di sana, Wiwin Haryono yang merupakan ibunda Ita Martadinata memintanya naik ke lantai atas, di mana kamar Ita Martadinata berada. Adapun pembunuhan tersebut baru saja terjadi, belum lewat satu hari.
Dia terkesiap melihat mayat Ita Martadinata masih mengucur darah dengan luka menganga di bagian lehernya. Ita seketika lemas, ia kembali turun tidak sampai lima menit setelah melihat mayat di depan matanya.
"Karena saya sudah enggak bisa, ini dari ujung (leher) sini, dari ujung kiri ke ujung kanan digorok, dan tengahnya terbuka. Darah itu masih mengucur. Tiga hari yang lalu itu masih duduk, kami berhadapan dia masih makan," ucap Ita.
Baca juga: Kekecewaan Keluarga Korban Kerusuhan Mei 1998: Dilempar Sana-sini seperti Bola Pingpong...
Sejurus kemudian, dia pamit pulang ke Kalyanamitra karena tak sanggup. Setibanya di kantor, Ita pun tidak bisa apa-apa. Sekujur tubuhnya lemas, sesekali ia muntah-muntah.
Kendati begitu, ia tetap datang ke prosesi kremasi Ita Martadinata di daerah Cilincing, sesuai permintaan ibunda Ita Martadinata.
Saat datang ke acara kremasi, Ita mengaku tidak mendapat kekuatan seperti ketika ia mengurus jenazah gadis cilik berusia 11 tahun yang juga menjadi korban pemerkosaan, Fransisca.
Saat itu, Ita membantu proses kremasi Fransisca sampai selesai, mulai dari mengumpulkan abu hasil kremasi, menyaring abu, memasukkannya ke dalam guci, hingga naik kapal untuk membuang abu tersebut.
Baca juga: Cerita Ita Fatia Nadia soal Mei 1998, Mendadak Dapat Laporan Pemerkosaan di Banyak Tempat
Kematian Ita Martadinata disusul peristiwa yang sama beberapa hari kemudian. Seorang anak berusia 16 tahun dibunuh oleh keluarganya, korban meminum obat nyamuk cair.
Hal ini dilandasi karena malunya keluarga setelah sang anak yang merupakan orang Tionghoa menjadi korban pemerkosaan tahun 1998.
Kematian beberapa korban membuat perubahan besar (turning point) bagi para korban pemerkosaan tahun 1998 sampai detik ini. Korban tidak berani bersuara untuk bersaksi, bahkan menceritakan apa yang dialami mereka kembali.
"Para korban tidak mau lagi bicara, tidak mau lagi bicara. Bahkan korban yang saya dampingi, itu korban yang diperkosa di dalam lemari di Surabaya, itu sampai sekarang tidak mau bicara. Diam semua," tutur Ita.