Alasan mereka sama: takut dibunuh. Setiap kali diminta berbicara, mereka mempertanyakan jaminan yang akan diberikan para relawan agar mereka bisa aman, tenang, dan tidak terbunuh.
Pertanyaan itu turut dilayangkan oleh orang tua dua korban pemerkosaan yang merupakan mahasiswa Trisakti. Mahasiswa ini mengalami rudapaksa di dalam mobil, kemudian berobat ke Singapura karena mengalami pendarahan.
Baca juga: Han dan Kisah-kisah Pilu Saksi Kerusuhan Jakarta Mei 1998: Saat Penjarahan hingga Pembakaran Melanda
"Lebih baik kami diam, kami meneruskan hidup kami daripada kami harus berbicara dan mengaku bahwa kami korban perkosaan Mei. Kami ingin meneruskan hidup," tutur Ita menirukan.
"Itu yang terjadi sampai detik ini, sampai sekarang ini mereka tidak mau, karena kematian Ita Martadinata adalah sebuah tanda bahwa mereka tidak aman dan tidak ada yang menjamin keselamatannya," jelas Ita.
Hal ini pula yang membuat Ita dan tim relawan yakin tidak mempublikasikan nama korban, bahkan untuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang banyak beranggotakan kepolisian.
Dia khawatir, mempublikasikan nama korban justru memperpanjang daftar orang terbunuh.
Tak heran, terjadi perbedaan data korban. Menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk kala itu, korban pemerkosaan mencapai 66 orang.
Namun, data Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat korban pemerkosaan mencapai 165 orang. Belum lagi dihitung dari para korban yang akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri.
Hingga saat ini, kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 tetap menjadi misteri. Pelaku atau dalang di balik peristiwa tersebut belum terungkap hingga 25 tahun kemudian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.