JAKARTA, KOMPAS.com - Tragedi Mei 1998 sudah berlalu 25 tahun lamanya. Namun, berbagai kisah dibalur kengerian terus membekas di hati korban dan para relawan yang aktif di masa itu.
Di masa itu, terjadi krisis ekonomi sejak tahun 1997. Krisis tersebut lantas berkepanjangan, diperparah dengan keadaan politik dalam negeri yang kacau. Di tengah-tengah peristiwa, terjadi pemerkosaan masif terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Salah satu tragedi mengerikan adalah pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga korban pemerkosaan Mei 1998, Ita Martadinata.
Ita yang masih berusia 18 tahun dibunuh pada 9 Oktober 1998, tepat sebelum memberikan kesaksian di hadapan forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, AS.
Baca juga: Soeharto di Mesir Saat Kerusuhan Mei 1998 Meletus, Sepertiga Kekuatan Militer Duduki Ibu Kota
Pembunuhan Ita diceritakan kembali oleh Ita Fatia Nadia, yang kala itu menjadi anggota Tim Relawan Kemanusiaan (TRK).
Tingginya kasus pemerkosaan pada kala itu membuat TRK membentuk subdivisi khusus bernama Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP).
Ita Fatia Nadia yang menjabat sebagai Direktur dari organisasi perempuan bernama Kalyanamitra, turut menjadi koordinator TRKP.
"Saya baru bisa cerita sekarang. Sebelumnya saya enggak (sanggup). Jadi saya melihat begitu langsung terkesiap," kata Ita menceritakan kesaksiannya, dalam wawancara daring dengan Kompas.com, Rabu (17/5/2023) malam.
Ita bercerita, kejadian itu bermula ketika komunitas Buddhis di Indonesia mendapatkan undangan untuk bersaksi di Sidang PBB di New York.
Saat itu, yang berani memberikan kesaksian adalah Ita Martadinata dengan ibunya, Wiwin Haryono, yang merupakan aktivis buddhism.
Ita dan ibunya lantas datang ke kantor Kalyanamitra di Jalan Kaca Jendela, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kedatangannya diminta oleh Ketua Tim Relawan Kemanusiaan Kerusuhan Mei 1998, Ignatius Sandyawan Sumardi.
Baca juga: Jakarta Membara dalam Kerusuhan 25 Tahun Lalu: Massa Mengamuk, Mobil Dibakar, dan Bangunan Dijarah
Sesampainya di sana, tim membuatkan pernyataan (statement) yang akan dibacakan Ita di Sidang PBB. Begitu pula menyiapkan kondisi Ita secara psikologis, paspor, tiket pesawat, dan lainnya yang dibutuhkan.
Naas, Ita dikabarkan terbunuh beberapa hari sebelum berangkat. Pembunuhan itu pertama kali didengar Ita Fatia Nadia dari Lily Zakiyah Munir, seorang aktivis hak perempuan dan anggota Nahdlatul Ulama (NU).
"Sore hari jam 16.00 WIB saya mendapat telepon. 'Mbak, Ita Martadinata meninggal, dibunuh'," kata Ita memperagakan pola lawan bicaranya di telepon.
Merasa tidak percaya, Ita bertanya balik.
"Kemarin (belum lama), baru ke sini," Ita menimpali.
"Enggak, dibunuh Mbak," timpal lawan bicaranya lagi.
Baca juga: Trauma Maria Sanu akibat Kerusuhan Mei 1998, Menangis Setiap Kali Lewat Mal Klender...
Berdua dengan temannya, ia bergegas ke rumah Ita Martadinata di daerah Sumur Batu, Jakarta Timur.
Rumah tersebut sudah ramai polisi. Sementara orang tua Ita Martadinata duduk di rumah tamu. Ignatius Sandyawan atau yang karib disapa Ita dengan Romo Sandy pun sudah hadir di rumah duka.
Sesampainya dia di sana, Wiwin Haryono yang merupakan ibunda Ita Martadinata memintanya naik ke lantai atas, di mana kamar Ita Martadinata berada. Adapun pembunuhan tersebut baru saja terjadi, belum lewat satu hari.
Dia terkesiap melihat mayat Ita Martadinata masih mengucur darah dengan luka menganga di bagian lehernya. Ita seketika lemas, ia kembali turun tidak sampai lima menit setelah melihat mayat di depan matanya.
"Karena saya sudah enggak bisa, ini dari ujung (leher) sini, dari ujung kiri ke ujung kanan digorok, dan tengahnya terbuka. Darah itu masih mengucur. Tiga hari yang lalu itu masih duduk, kami berhadapan dia masih makan," ucap Ita.
Baca juga: Kekecewaan Keluarga Korban Kerusuhan Mei 1998: Dilempar Sana-sini seperti Bola Pingpong...
Sejurus kemudian, dia pamit pulang ke Kalyanamitra karena tak sanggup. Setibanya di kantor, Ita pun tidak bisa apa-apa. Sekujur tubuhnya lemas, sesekali ia muntah-muntah.
Kendati begitu, ia tetap datang ke prosesi kremasi Ita Martadinata di daerah Cilincing, sesuai permintaan ibunda Ita Martadinata.
Saat datang ke acara kremasi, Ita mengaku tidak mendapat kekuatan seperti ketika ia mengurus jenazah gadis cilik berusia 11 tahun yang juga menjadi korban pemerkosaan, Fransisca.
Saat itu, Ita membantu proses kremasi Fransisca sampai selesai, mulai dari mengumpulkan abu hasil kremasi, menyaring abu, memasukkannya ke dalam guci, hingga naik kapal untuk membuang abu tersebut.
Baca juga: Cerita Ita Fatia Nadia soal Mei 1998, Mendadak Dapat Laporan Pemerkosaan di Banyak Tempat
Kematian Ita Martadinata disusul peristiwa yang sama beberapa hari kemudian. Seorang anak berusia 16 tahun dibunuh oleh keluarganya, korban meminum obat nyamuk cair.
Hal ini dilandasi karena malunya keluarga setelah sang anak yang merupakan orang Tionghoa menjadi korban pemerkosaan tahun 1998.
Kematian beberapa korban membuat perubahan besar (turning point) bagi para korban pemerkosaan tahun 1998 sampai detik ini. Korban tidak berani bersuara untuk bersaksi, bahkan menceritakan apa yang dialami mereka kembali.
"Para korban tidak mau lagi bicara, tidak mau lagi bicara. Bahkan korban yang saya dampingi, itu korban yang diperkosa di dalam lemari di Surabaya, itu sampai sekarang tidak mau bicara. Diam semua," tutur Ita.
Alasan mereka sama: takut dibunuh. Setiap kali diminta berbicara, mereka mempertanyakan jaminan yang akan diberikan para relawan agar mereka bisa aman, tenang, dan tidak terbunuh.
Pertanyaan itu turut dilayangkan oleh orang tua dua korban pemerkosaan yang merupakan mahasiswa Trisakti. Mahasiswa ini mengalami rudapaksa di dalam mobil, kemudian berobat ke Singapura karena mengalami pendarahan.
Baca juga: Han dan Kisah-kisah Pilu Saksi Kerusuhan Jakarta Mei 1998: Saat Penjarahan hingga Pembakaran Melanda
"Lebih baik kami diam, kami meneruskan hidup kami daripada kami harus berbicara dan mengaku bahwa kami korban perkosaan Mei. Kami ingin meneruskan hidup," tutur Ita menirukan.
"Itu yang terjadi sampai detik ini, sampai sekarang ini mereka tidak mau, karena kematian Ita Martadinata adalah sebuah tanda bahwa mereka tidak aman dan tidak ada yang menjamin keselamatannya," jelas Ita.
Hal ini pula yang membuat Ita dan tim relawan yakin tidak mempublikasikan nama korban, bahkan untuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang banyak beranggotakan kepolisian.
Dia khawatir, mempublikasikan nama korban justru memperpanjang daftar orang terbunuh.
Tak heran, terjadi perbedaan data korban. Menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk kala itu, korban pemerkosaan mencapai 66 orang.
Namun, data Tim Relawan untuk Kemanusiaan mencatat korban pemerkosaan mencapai 165 orang. Belum lagi dihitung dari para korban yang akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri.
Hingga saat ini, kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 tetap menjadi misteri. Pelaku atau dalang di balik peristiwa tersebut belum terungkap hingga 25 tahun kemudian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.