Bukan perkara mudah memenangkan Gibran di Solo dan Bobby di Medan mengingat penunjukkan mereka sebagai calon kepala daerah telah menyebabkan kader-kader yang lebih “berkeringat” dan telah menempuh jalan panjang di politik harus tersingkir.
Wakil Wali Kota Medan sebelum periode Bobby menjadi wali kota adalah kader lama di PDIP dan merasa begitu yakin dirinya akan maju sebagai Medan-1 karena dukungan PDIP. Kenyataan di lapangan menjadi lain karena Medan harus diisi oleh trah Jokowi.
Cerita yang sama juga terjadi di Solo, kader lama juga harus “mengalah” karena putra RI-1 ingin menjadi Wali Kota Solo.
Belum lagi terbesit keinginan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep juga berniat maju sebagai Calon Wali Kota Depok atau Solo melalui “pintu” PDIP.
Selain telah menjadi kader PDIP, Gibran pasti tidak akan lupa jika ayahnya berhasil menjadi Wali Kota Solo hingga dua periode, menjabat Gubernur DKI satu periode serta terpilih sebagai RI-1 selama dua periode adalah berkat dukungan penuh dari PDIP.
Saya menilai “permainan” politik yang dimainkan Gibran identik dengan skema “tiki-taka” – menjiplak permainan sepakbola ala Spanyol – yang dimainkan ayahnya di pentas politik nasional.
Tipe permainan politik Jokowi bahkan seperti “undur-undur” yang tidak jelas mau mendukung Prabowo atau Ganjar.
Permainan politik “dua kaki” yang ditunjukkan Jokowi mirip dengan pepatah Jawa. Senin suka tempe, selasa doyan kedelai.
Hari Senin bisa saja Jokowi memuji Prabowo sebagai calon penerusnya yang layak memimpin Indonesia. Akan tetapi hari Selasa, Jokowi dengan gampangnya menyebut Ganjar adalah tokoh pilihannya untuk Capres mendatang.
Bisa dipahami jika Jokowi memang sengaja memainkan dua kartu “as” di Pilpres 2024 untuk mengamankan dirinya pascalengser nanti.
Hanya ada dua nama di saku Jokowi, yakni Prabowo dan Ganjar. Program-program Jokowi seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara/IKN harus diteruskan oleh Prabowo atau Ganjar.
Jokowi tidak ingin ada proyek peninggalannya mangkrak dan terbengkalai seperti Wisma Hambalang di era Presiden SBY.
Amburadulnya Wisma Hambalang selalu menjadi amunisi negatif yang abadi untuk menyerang SBY.
Kesetiaan Jokowi seperti halnya Gibran terhadap PDIP begitu mendua. Alih-alih memberikan dukungan moral kepada Ganjar, kelakuan sikap politiknya mirip dengan kisah remaja pria yang tersandera antara dua pilihan perempuan yang sama-sama molek dan rupawan. Mereka begitu kebingungan menancapkan pilihannya kepada satu nama.
Permainan politik “dua kaki” yang kali ini ditampilkan Gibran menjadi “blunder” mengingat semangat dan gelora kader-kader PDIP di lapangan sudah masuk tahap “gas pool”. Mereka bergerak memenangkan Ganjar bukan lagi dari persneling “gigi satu”.
Kader PDIP dan simpatisan Ganjar mulai mengampanyekan Ganjar “dari pintu ke pintu” hingga di media sosial.
Walau tahapan kampanye resmi belum dimulai, mereka mengejar ketertinggalan dengan kampanye “terang-terangan” yang dilakukan Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.
Kini pasca-Gibran menghadiri acara deklarasi Relawan Jokowi – Gibran untuk mendukung Prabowo, kader PDIP dan simpatisan Ganjar bertanya-tanya tentang sikap politik keluarga Presiden Jokowi.
Mereka bisa menjabat karena dukungan PDIP, mengaku kader PDIP tetapi sikap politiknya begitu ambigu.
Gaya komunikasi Gibran yang seolah-olah “masa bodoh” dan pura-pura tidak paham etika politik, tentu saja lekat secara simbolik politik kalau keberadaannya di acara dukungan kepada Prabowo sebagai bentuk dukungan secara terbuka terhadap Prabowo.
Kehadiran Gibran dalam acara politik untuk mendukung Capres yang bukan diusung partainya, sebaiknya dijadikan pendewasaan bagi Gibran dan Jokowi untuk mengingatkan kepada dirinya, anak-anak dan menantunya dalam berjuang di ranah politik.