Salin Artikel

Gibran antara "Main" Dua Kaki dan Kacang Lupa Kulitnya

PENUTURAN Mbah Marno – demikian saya biasa menyapa kakek lanjut usia di Magelang, Jawa Tengah itu mengenai preferensi politiknya yang tidak lekang dimakan zaman.

Soemarno seperti halnya kader-kader “militan” yang dimiliki PDIP memang begitu besar andilnya dalam memenangkan PDIP dalam setiap kontestasi pemilihan.

Konsistensi dan komitmen berpartai seperti yang ditunjukkan oleh Soemarno, senapas dengan kredo yang selalu dilontarkan pendiri PDIP, Megawati Soekarnoputeri.

Seorang kader harus tegak lurus dalam memperjuangkan cita-cita partai termasuk dalam mendukung calon pemimpin yang direkomendasikan PDIP.

Salah satu keunggulan militansi PDIP dalam memenangkan kontestasi pemilihan kepala daerah di banyak daerah termasuk calon-calon yang menang di Solo, Medan, DKI Jakarta bahkan selalu unggul di Pilpres adalah kegigihan seperti yang ditunjukkan Soemarno.

Pihak-pihak di internal PDIP seperti yang diperlihatkan Ketua Badan Pemenangan Pemilu yang juga Ketua DPD PDI Jawa Tengah, Bambang Pacul atau anggota-anggota DPR-RI yang sempat membentuk “Dewan Jenderal” untuk menyokong pencapresan Puan Maharani di Pilpres 2024, langsung “bubar jalan” ketika Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri mengumumkan penugasan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai Capres.

Megawati Soekarnoputeri yang disertai Presiden Joko Widodo mengumumkan pencapresan Ganjar Pranowo di Batutulis, Bogor, Jawa Barat pada Jumat, 21 April 2023 lalu.

Begitu Ganjar yang juga selaras dengan suara dominan di akar rumput diumumkan sebagai Capres, semua organ dan indvidu di tubuh partai berlambang kepala Banteng kompak bersatu mendukung Ganjar.

Sembari menunggu finalisasi nama Cawapres yang akan disandingkan dengan Ganjar, hampir semua anggota Dewan yang dimiliki PDIP baik di tingkat pusat maupun daerah langsung menginisiasi pembentukan tim pemenangan termasuk mensinergikan kerja dari jaringan relawan pendukung Ganjar.

Militansi dan “bonding” di PDIP terus bergerak dengan dana swadaya masing-masing individu yang memang telah “jatuh hati” kepada Ganjar maupun kecintaannya terhadap PDIP.

Sikap Ganjar yang selama ini konsisten tetap berada di PDIP walaupun beberapa partai meminangnya untuk maju sebagai Capres, menunjukkan kesetiaannya kepada jalan kerakyatan.

Ganjar juga membuktikan kepada Megawati dan menjadi teladan bagi kader-kader militan, di saat dia “dikuyoh-kuyoh” oleh rekan partainya, dia tetap konsisten dan setia kepada PDIP walau sebelum pengumuman Capres di Batutulis, justru nama Puan yang notabene putri kandung Megawati yang menguat sebagai Capres dari PDIP.

Saya kerap diundang menjadi pembicara di berbagai forum politik, hampir semua fungsionaris partai-partai lain selain PDIP selalu “khawatir” kalah dengan calon yang disokong PDIP.

Mereka merasa “ngeri-ngeri sedap” dengan militansi kader dan simpatisan PDIP yang loyal sejak kampanye hingga proses penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kondisi tersebut berbeda dengan kesetiaan kader dan simpatisan mereka.

Langkah Gibran membingungkan

Kedatangan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga menjadi salah satu Capres yang akan berlaga di Pilpres 2024 ke Solo, Jawa Tengah, Jumat (19/05/2023), serta adanya deklarasi relawan pendukung Jokowi dan Gibran Rakabuming untuk mendukung Prabowo, sebenarnya hal yang lumrah terjadi.

Menjadi tidak lumrah jika Wali Kota Solo Gibran ikut menghadiri acara deklarasi yang dilakukan 15 koordinator lapangan dari Relawan Jokowi-Gibran yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Jika alasan yang dipakai Gibran adalah menjadi kewajibannya selaku kepala daerah untuk menerima kedatangan Prabowo selaku menteri, tentu bisa dipahami dari aturan keprotokolan.

Hanya saja jika Gibran ikut-ikutan menghadiri acara deklarasi dukungan yang dilakukan relawan ayah dan dirinya, tentu sangat tidak dibenarkan dari kacamata partai yang mendukungnya selama ini.

Gibran berhasil menang dan terpilih sebagai Wali Kota Solo, selain karena “diuntungkan” dengan namanya ayahnya, tentu saja mendapat andil dari PDIP yang mencalonkannya secara resmi di jalur politik.

Gibran mungkin juga masih belum lupa, adik iparnya yang bernama Bobby Nasution juga melenggang menjadi Wali Kota Medan berkat “endors” dari PDIP.

Bukan perkara mudah memenangkan Gibran di Solo dan Bobby di Medan mengingat penunjukkan mereka sebagai calon kepala daerah telah menyebabkan kader-kader yang lebih “berkeringat” dan telah menempuh jalan panjang di politik harus tersingkir.

Wakil Wali Kota Medan sebelum periode Bobby menjadi wali kota adalah kader lama di PDIP dan merasa begitu yakin dirinya akan maju sebagai Medan-1 karena dukungan PDIP. Kenyataan di lapangan menjadi lain karena Medan harus diisi oleh trah Jokowi.

Cerita yang sama juga terjadi di Solo, kader lama juga harus “mengalah” karena putra RI-1 ingin menjadi Wali Kota Solo.

Belum lagi terbesit keinginan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep juga berniat maju sebagai Calon Wali Kota Depok atau Solo melalui “pintu” PDIP.

Selain telah menjadi kader PDIP, Gibran pasti tidak akan lupa jika ayahnya berhasil menjadi Wali Kota Solo hingga dua periode, menjabat Gubernur DKI satu periode serta terpilih sebagai RI-1 selama dua periode adalah berkat dukungan penuh dari PDIP.

Saya menilai “permainan” politik yang dimainkan Gibran identik dengan skema “tiki-taka” – menjiplak permainan sepakbola ala Spanyol – yang dimainkan ayahnya di pentas politik nasional.

Tipe permainan politik Jokowi bahkan seperti “undur-undur” yang tidak jelas mau mendukung Prabowo atau Ganjar.

Permainan politik “dua kaki” yang ditunjukkan Jokowi mirip dengan pepatah Jawa. Senin suka tempe, selasa doyan kedelai.

Hari Senin bisa saja Jokowi memuji Prabowo sebagai calon penerusnya yang layak memimpin Indonesia. Akan tetapi hari Selasa, Jokowi dengan gampangnya menyebut Ganjar adalah tokoh pilihannya untuk Capres mendatang.

Bisa dipahami jika Jokowi memang sengaja memainkan dua kartu “as” di Pilpres 2024 untuk mengamankan dirinya pascalengser nanti.

Hanya ada dua nama di saku Jokowi, yakni Prabowo dan Ganjar. Program-program Jokowi seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara/IKN harus diteruskan oleh Prabowo atau Ganjar.

Jokowi tidak ingin ada proyek peninggalannya mangkrak dan terbengkalai seperti Wisma Hambalang di era Presiden SBY.

Amburadulnya Wisma Hambalang selalu menjadi amunisi negatif yang abadi untuk menyerang SBY.

Kesetiaan Jokowi seperti halnya Gibran terhadap PDIP begitu mendua. Alih-alih memberikan dukungan moral kepada Ganjar, kelakuan sikap politiknya mirip dengan kisah remaja pria yang tersandera antara dua pilihan perempuan yang sama-sama molek dan rupawan. Mereka begitu kebingungan menancapkan pilihannya kepada satu nama.

Permainan politik “dua kaki” yang kali ini ditampilkan Gibran menjadi “blunder” mengingat semangat dan gelora kader-kader PDIP di lapangan sudah masuk tahap “gas pool”. Mereka bergerak memenangkan Ganjar bukan lagi dari persneling “gigi satu”.

Kader PDIP dan simpatisan Ganjar mulai mengampanyekan Ganjar “dari pintu ke pintu” hingga di media sosial.

Walau tahapan kampanye resmi belum dimulai, mereka mengejar ketertinggalan dengan kampanye “terang-terangan” yang dilakukan Anies Baswedan dan Prabowo Subianto.

Kini pasca-Gibran menghadiri acara deklarasi Relawan Jokowi – Gibran untuk mendukung Prabowo, kader PDIP dan simpatisan Ganjar bertanya-tanya tentang sikap politik keluarga Presiden Jokowi.

Mereka bisa menjabat karena dukungan PDIP, mengaku kader PDIP tetapi sikap politiknya begitu ambigu.

Gaya komunikasi Gibran yang seolah-olah “masa bodoh” dan pura-pura tidak paham etika politik, tentu saja lekat secara simbolik politik kalau keberadaannya di acara dukungan kepada Prabowo sebagai bentuk dukungan secara terbuka terhadap Prabowo.

Prinsip kacang jangan lupa kulitnya

Kehadiran Gibran dalam acara politik untuk mendukung Capres yang bukan diusung partainya, sebaiknya dijadikan pendewasaan bagi Gibran dan Jokowi untuk mengingatkan kepada dirinya, anak-anak dan menantunya dalam berjuang di ranah politik.

Politik itu butuh komitmen, memerlukan dedikasi dan loyalitas serta prestasi kepada partai yang mengusungnya. Jika tidak membutuhkan partai, tentu bisa memilih berjuang di jalur independen atau memilih partai lain yang bisa memberi toleransi permainan politik “dua kaki”.

Harusnya Gibran bisa belajar bagaimana kesetiaan PDIP terhadap rezim Jokowi selama dua periode. Hanya PDIP yang berani “pasang” badan membela kebijakan-kebijakan Jokowi yang tidak populis di mata rakyat.

Di saat minyak goreng susah didapat, PDIP yang membela habis Jokowi. Di saat Jokowi gamang menghadapi pandemi di awal merebaknya Covid-19, PDIP pula yang memberikan dukungan penuh.

Di saat keterbelahan parlemen karena masih “ngototnya” kubu Prabowo – Hatta Rajasa menolak kekalahannya di Pilpres 2019, PDIP tetap konsisten berdiri di belakang Jokowi.

Seharusnya, Jokowi bisa meminta Gibran untuk belajar dari relasi partai-partai dengan Istana selama memimpin.

Bagaimana kesetiaan Nasdem terhadap Jokowi hanya bersifat “kosmetik”, demikian pula dengan penumpang-penumpang “gelap” di setiap Pilpres, yang lebih menikmati jabatan dibandingkan partai yang gigih menyokongnya.

Rencana pemanggilan Gibran ke DPP PDIP pada Senin (21/5/2023), adalah wajar ketika partai ingin meminta klarifikasi dari Gibran mengenai insiden kehadirannya di acara dukungan Relawan Jokowi dan Gibran terhadap Prabowo.

Penegakkan aturan partai terhadap Gibran juga wajar mengingat partai memiliki aturan dan mekanisme untuk mentertibkan anggotanya agar “segaris” dengan kebijakan ketua umum dan dewan pimpinan pusat partainya.

Andai saja Gibran mau belajar dengan prinsip-prinsip dan “lelakon” kepemimpinan tentu dirinya akan mempunyai identitas politik yang tidak harus “terbebani” dengan warisan kepemimpinan ayahnya.

PDIP bisa memberikan pencalonan presiden kepada “orang luar” dan bukan dari golongan “darah biru” yang terkait dengan Soekarno. Apakah Gerindra bisa mengusung Capres selain Prabowo Subianto?

Padahal, tipe kepemimpinan ayahnya begitu mirip dengan Ganjar dan berbeda dengan gaya kepemimpinan Prabowo yang lekat dengan militer. Baik Jokowi dan Ganjar adalah tumbuh dari keluarga miskin, yang bercita-cita memakmurkan rakyat melalui kepemimpinan tingkat lokal.

Jokowi dan Ganjar adalah role model pola kepemimpinan PDIP, mereka bisa menjadi kepala daerah dan pemimpin melalui proses penjaringan dan perjuangan dari bawah. Karena berasal dari masyarakat bawah, Jokowi dan Ganjar begitu jelas keberpihakkannya terhadap rakyat kecil.

Gibran harusnya belajar banyak mengenai sosok kepemimpinan Prabowo, mulai dari militer hingga menjadi menteri di era bapaknya menjabat. Gibran bisa menjadi wali kota karena privilege ayahnya sebagai presiden.

Saya kerap mendapat keluhan dari banyak kepala daerah yang merasa iri dengan keberuntungan menjadi wali kota di Solo atau Medan.

Jika kepala daerah ingin mendapat alokasi proyek-proyek bantuan dari pusat harus “merengek” bahkan “mengemis” agar bisa mendapat secuil perhatian dari Jakarta. Menelpon menteri pun seperti keadaan tanpa sinyal.

Gibran setidaknya tidak melupakan ajaran Jawa bahwa “kacang ojo lali karo lanjarane”.

Prinsip kacang tidak boleh melupakan kulitnya tidak boleh dimiliki oleh calon-calon pemimpin kita kelak. Seorang pemimpin harus ”istiqomah”, teguh pendiriannya serta selalu konsekuen dan tegak lurus.

Siapa tahu usai dari Solo, Gibran akan menggantikan Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah atau menjadi presiden seperti ayahnya kelak. Entah partai apa yang menjadi pilihan Gibran nanti.

"Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang". – Bung Karno.

https://nasional.kompas.com/read/2023/05/22/05500151/gibran-antara-main-dua-kaki-dan-kacang-lupa-kulitnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke