Saking tidak terbendungnya korban kejahatan, Ita dan Sandyawan mengadakan rapat di Jalan Arus.
Di situ, Romo Sandi memutuskan untuk membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Mereka mengurus para korban yang terbakar di Klender, Jatinegara, dan lainnya.
Baca juga: Gelar Pameran Foto 25 Tahun Reformasi, Pena 98: Negara Harus Punya Tanggung Jawab Sejarah
Lalu, dibentuk pula Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP), yang berkantor pusat di Kalyanamitra. Tugas utamanya membantu dan mengurus para korban perkosaan dan pelecehan seksual.
Ita membuka perekrutan alias meminta para relawan membantu, mengingat sumber daya di Kalyanamitra tidak mampu menangani semua kasus yang muncul.
Beruntung, puluhan relawan datang ke Kalyanamitra untuk membantu. Tugasnya dibagi-bagi, ada yang berurusan dengan call center/hotline, tim pencatatan korban, tim investigasi, dan tim penyembuhan mental yang diisi oleh psikolog dari Universitas Indonesia dan Universitas Atmajaya.
Pada 13 Mei 1998 pula, Ita mengumumkan pembentukan tim melalui televisi. Masyarakat yang membutuhkan pertolongan, bisa melaporkan kepada tim relawan. Dari situ, telepon masuk terus berdering tanpa henti.
"Telepon terus berbunyi, (tanggal) 13, 14, 15 (Mei) itu puncak dari telepon masuk tentang perkosaan. Kita kebetulan sudah membuat tim. Jadi kalau ada telepon masuk perkosaan dicatat, kemudian tim investigasi langsung ke lapangan," bebernya.
Baca juga: Aktivis 98 Gelar Pameran Foto 25 Tahun Reformasi, Pengunjung: Merinding Lihatnya
Ada pula korban perkosaan yang dia tangani secara langsung, termasuk dua orang mahasiswa Trisakti yang menjadi korban rudapaksa di dalam mobil. Informasi kasus itu dia terima di hari yang sama, yaitu pada sore hari tanggal 13 Mei 1998.
Ita mendatangi sebuah rumah di daerah Slipi, Jakarta Barat, tempat kedua mahasiswa itu berada. Di sana, sudah ada seorang romo dan bidan. Begitu pula dokter yang segera memberikan suntikan untuk menghentikan pendarahan.
Ita memutuskan untuk membawa dua orang tersebut menjalani pengobatan di Singapura, menyusul adanya informasi maskapai Singapore Airlines saat itu tersedia untuk membawa korban.
"Kami membawa dua mahasiswa ini ke Cengkareng, ke (Bandara) Soekarno-Hatta. Kami boarding tidak ditanya paspor, tidak ditanya apa, langsung masuk. Kami tinggal, dia ditangani di Singapura sekitar 2 bulan," jelas Ita.
Pada 14 Mei 1998, Ita diminta menemui salah satu korban pemerkosaan berusia 11 tahun, di Kota Lama, Tangerang, bernama Fransisca. Kakak dan ibunya telah lebih dulu meninggal karena kasus yang sama.
Baca juga: Mengenang 25 Tahun Reformasi, Pameran Foto dan Diskusi Sejarah di 20 Kota
Saat ditemui, Fransisca masih hidup. Namun, remaja tanggung yang digambarkan Ita sangat cantik itu sudah mengalami pendarahan hebat. Melihatnya kesakitan, Ita meminta Fransisca untuk pulang menyusul ibu dan kakaknya, jika sudah tidak kuat.
Fransisca meninggal di pangkuannya. Ita mengurus proses kremasi hingga pembuangan abu seorang diri. Pun sempat membelikan baju cantik untuk dipakai Fransisca.
Menurut data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk kala itu, korban hanya mencapai 66 orang. Padahal menurut laporan eksekutif, korban mencapai 165 orang.
Belum lagi dihitung dari para korban yang akhirnya meninggalkan Indonesia dan menetap di luar negeri.
Hingga saat ini, kasus pemerkosaan massal pada Mei 1998 tetap menjadi misteri. Pelaku atau dalang di balik peristiwa tersebut pun belum terungkap hingga 25 tahun kemudian.
Pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa bukan satu-satunya kejahatan kemanusiaan pada kala itu. Ada pula penghilangan paksa terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam gerakan mahasiswa dan aktivis pro demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.