Kaum politisi seringkali lebih berkata jujur di belakang panggung, untuk itu kita harus berhati-hati dan tidak terpaku pada retorika dan penjelasan para politisi di panggung depan yang manis di bibir, tapi mungkin pahit di hati.
Segregasi politik pasca-Pilpres 2014 saja masih terbawa-bawa sampai sekarang ini. Tentu kita ingat, ketika itu keterwakilan parlemen terbelah antara blok koalisi pendukung Prabowo dan blok koalisi pendukung Jokowi.
Sekeras apapun konstraksi politik antarkandidat, pada akhirnya buyar dengan politik konsolidasi alias transaksional. Kecuali Megawati yang susah move-on dari SBY sejak kekalahannya dulu.
Maka dalam basa-basi politik, kita diperkenalkan dengan banyak istilah dan drama. Termasuk gastrodiplomacy, ketika makanan jadi simbol atau penanda politik, untuk meng-eufimisme politik agar tak terlihat kaku dan keras.
Seperti halnya pertandingan, ada pemain yang bertindak sebagai pengumpan untuk mengecoh, ada eksekutor yang mencuri poin.
Sebuah koalisi yang solid memainkan jurus-jurus itu. Semacam “tes ombak”, untuk melihat pergerakan arus, sebelum mengambil keputusan.
Namun harus diakui segresasi politik memberi perubahan yang paling tidak “sedikit” lebih jujur. Sebagai misalnya, drama perselisihan internal PDIP ketika mendorong Puan Maharani sebagai capres pilihan PDIP, sementara di balik itu ada kader kuat Ganjar Pranowo dengan elektabilitas di tiga peringkat atas bersama Prabowo Subianto dan Anies Bawedan.
Benarkah Megawati yang tak berbasa-basi dengan Ganjar ketika itu bukan sekadar strategi, semacam gimmick politik? Tak pernah ada yang tahu.
Begitu juga ketika Surya Paloh mendorong Anies Baswedan melalui kelahiran caesar politik, langsung membuat hubungannya dengan Jokowi renggang. Bertemu tanpa salaman, pelukan tanpa tepukan. Bukti politik depan panggung memang rumit, apalagi backstage-nya?.
Konstelasi politik penuh dengan politik transaksional yang tak lagi malu-malu, bahkan melalui format silaturahmi Lebaran.
Pembicaraanya paling tidak, pastilah soal koalisi, keberlanjutan trah kepemimpinan dan legacy pembangunan harus di tangan koalisi penerus yang tepat.
Meskipun ketika gugatan Jusuf Kalla muncul, soal ketidakhadiran satu partai “yang tak sehaluan”, semua pembicaraan katanya hanya soal pembangunan.
Realitas lain yang menarik adalah bagaimana politik zig-zag Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto, kedalam lini-lini partai-partai yang sejauh ini masih “jomblo”.
Padahal jika menghitung kekuatan Golkar, partai terbesar kedua setelah PDIP setidaknya punya 52 kursi parlemen atau 12,3 persen. Posisi tawar Golkar tidak bisa dianggap enteng oleh partai lainnya.
Namun perang Bintang PIlpres 2024 “memaksa” Golkar memainkan jurus negosiasi politik karena tekad bulat mencapreskan Airlangga.
Dialog politik Golkar dengan Partai Demokrat dan Partai Gerindra masih terbuka, sebelum “janur kuning” pinangan politik melengkung.
Dalam situasi kekinian, Golkar menyandang beban berat jika harus memaksakan Airlangga Hartarto sebagai “harga mati” dalam proses transaksional kekuasaan tanpa berpijak pada hasil elektabilitas yang terekam dalam berbagai hasil jajak pendapat.
Elektabilitas dan popularitas Airlangga Hartarto masih kalah bersaing dengan nama-nama lain. Pasar politik tidak memberi tempat bagi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tersebut.
Dalam realitas yang berbeda, Prabowo Subianto yang telah tiga kali mencalonkan diri sebagai capres, bukan tidak mungkin mengalah pada kekuatan PDIP dan PPP dengan tandem bersama Ganjar, rivalnya.