Salin Artikel

Rahasia Gelap Pilpres yang Tak Pernah Kita Tahu

Beruntung ketika itu berhasil menempatkan posisi netral di antara kubu yang bertikai, meski “disogok sepiring mie spesial”. Sehingga tak sempat ikut forum lempar kursi. Peristiwa itu menjadi trauma politik.

Dan ketika dua tahun setelahnya salah satu parpol “meminang” untuk terjun bebas ke politik praktis dengan jaminan kursi dewan, dengan “senang hati” saya tolak.

Satu-satunya keuntungan yang tersisa masih punya relasi politis dengan para senator yang dulu sehaluan di ormas.

Saya ingat petuah Joseph Schumpeter,"Ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat, namun, yang terjadi mereka hanya mementingkan dirinya sendiri."

Ungkapan Schumpeter bukan basa-basi, itu realitas. Apalagi setelah membongkar tuntas buku Dari Soekarno Sampai SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa karya Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A.

Buku yang mengupas sisi lain politik yang cenderung remang-remang mendekati gelap para presiden, yang bikin kita geleng-geleng kepala. Berbaur antara kepiawaian intelektualitas dengan sisi emosional, praktik buruk para presiden.

Kita bahkan menemukan narasi-narasi yang cenderung mengambarkan betapa orang besar sekalipun, punya sisi pribadi yang bisa dibilang tak layak dipertunjukkan, ajaibnya itu jelas terpampang dalam buku setebal 396 halaman. Dusta manalagi yang akan dibantah dari fakta-fakta itu?

Cobalah juga telusuri buku Perang Bintang 2014, Burhanuddin Muhtadi Pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) atau buku Di Balik Reformasi 1999, Laksamana Sukardi, semua tentang gambar buram politik kita.

Pilpres 2024, kurang lebih tinggal 173 hari lagi. Tentu saja barisan saf pembentukan koalisi makin intens dan rapat.

Apalagi pembicaraan jika bukan soal suksesi kepemimpinan, pastilah politik trah, oligarki parpol, konsolidasi politik, perilaku elite, segmentasi atau klaster pemilih, hingga prospek dan nasib partai-partai politik peserta pemilu, termasuk parpol Islam.

Meski peran publik dalam kontrol politik menguat, tetap masih dibayangi antipasti berpolitik pada sebagian orang.

Pekerjaan rumah besar “mendewasakan” demokrasi kita yang sering tidak prosedural. Memperbaiki partai politik, mengokohkan demokrasi, bahwa politik bukan hanya sekadar kontes idola dan pencitraan menuju kekuasaan.

Apakah konsolidasi demokrasi kita bisa lebih baik dari pilpres sebelumnya? Peristiwa politik dahulu mestinya bisa jadi feedback merumuskan strategi dan positioning tepat di benak para politisi.

Tapi jika melihat dinamika partai politik memang tak bisa dilihat dari perspektif kekurangannya saja, tetap saja harus disertai optimisme.

Bagaimanapun melalui partailah fungsi agregasi kepentingan harus diperjuangkan menjadi kebijakan yang seharusnya memperkuat kualitas demokrasi kita.

Dramaturgi Hoffman

Geliat politik kita seringkali lebih dipengaruhi tarik menarik kepentingan di panggung belakang layar. Meminjam istilah Erving Goffman.

Teori dramaturgi Goffman menjelaskan kehidupan sebagai panggung sandiwara, lengkap dengan pengaturan panggung dan akting individunya. Goffman menyebutnya sebagai “panggung depan” (front) dan “panggung belakang” (back).

Dunia politik kita seringkali lebih otentik di panggung belakang ketimbang panggung depan. Ibarat acara pamer cakap politik di televisi, panggung belakang ini seperti percakapan off-air yang lebih menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi ketimbang dialog on-air.

Kaum politisi seringkali lebih berkata jujur di belakang panggung, untuk itu kita harus berhati-hati dan tidak terpaku pada retorika dan penjelasan para politisi di panggung depan yang manis di bibir, tapi mungkin pahit di hati.

Segregasi politik pasca-Pilpres 2014 saja masih terbawa-bawa sampai sekarang ini. Tentu kita ingat, ketika itu keterwakilan parlemen terbelah antara blok koalisi pendukung Prabowo dan blok koalisi pendukung Jokowi.

Sekeras apapun konstraksi politik antarkandidat, pada akhirnya buyar dengan politik konsolidasi alias transaksional. Kecuali Megawati yang susah move-on dari SBY sejak kekalahannya dulu.

Maka dalam basa-basi politik, kita diperkenalkan dengan banyak istilah dan drama. Termasuk gastrodiplomacy, ketika makanan jadi simbol atau penanda politik, untuk meng-eufimisme politik agar tak terlihat kaku dan keras.

Belakang layar perang bintang

Seperti halnya pertandingan, ada pemain yang bertindak sebagai pengumpan untuk mengecoh, ada eksekutor yang mencuri poin.

Sebuah koalisi yang solid memainkan jurus-jurus itu. Semacam “tes ombak”, untuk melihat pergerakan arus, sebelum mengambil keputusan.

Namun harus diakui segresasi politik memberi perubahan yang paling tidak “sedikit” lebih jujur. Sebagai misalnya, drama perselisihan internal PDIP ketika mendorong Puan Maharani sebagai capres pilihan PDIP, sementara di balik itu ada kader kuat Ganjar Pranowo dengan elektabilitas di tiga peringkat atas bersama Prabowo Subianto dan Anies Bawedan.

Benarkah Megawati yang tak berbasa-basi dengan Ganjar ketika itu bukan sekadar strategi, semacam gimmick politik? Tak pernah ada yang tahu.

Begitu juga ketika Surya Paloh mendorong Anies Baswedan melalui kelahiran caesar politik, langsung membuat hubungannya dengan Jokowi renggang. Bertemu tanpa salaman, pelukan tanpa tepukan. Bukti politik depan panggung memang rumit, apalagi backstage-nya?.

Konstelasi politik penuh dengan politik transaksional yang tak lagi malu-malu, bahkan melalui format silaturahmi Lebaran.

Pembicaraanya paling tidak, pastilah soal koalisi, keberlanjutan trah kepemimpinan dan legacy pembangunan harus di tangan koalisi penerus yang tepat.

Meskipun ketika gugatan Jusuf Kalla muncul, soal ketidakhadiran satu partai “yang tak sehaluan”, semua pembicaraan katanya hanya soal pembangunan.

Realitas lain yang menarik adalah bagaimana politik zig-zag Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto, kedalam lini-lini partai-partai yang sejauh ini masih “jomblo”.

Padahal jika menghitung kekuatan Golkar, partai terbesar kedua setelah PDIP setidaknya punya 52 kursi parlemen atau 12,3 persen. Posisi tawar Golkar tidak bisa dianggap enteng oleh partai lainnya.

Namun perang Bintang PIlpres 2024 “memaksa” Golkar memainkan jurus negosiasi politik karena tekad bulat mencapreskan Airlangga.

Dialog politik Golkar dengan Partai Demokrat dan Partai Gerindra masih terbuka, sebelum “janur kuning” pinangan politik melengkung.

Dalam situasi kekinian, Golkar menyandang beban berat jika harus memaksakan Airlangga Hartarto sebagai “harga mati” dalam proses transaksional kekuasaan tanpa berpijak pada hasil elektabilitas yang terekam dalam berbagai hasil jajak pendapat.

Elektabilitas dan popularitas Airlangga Hartarto masih kalah bersaing dengan nama-nama lain. Pasar politik tidak memberi tempat bagi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tersebut.

Dalam realitas yang berbeda, Prabowo Subianto yang telah tiga kali mencalonkan diri sebagai capres, bukan tidak mungkin mengalah pada kekuatan PDIP dan PPP dengan tandem bersama Ganjar, rivalnya.

Jika benar, maka panggung belakang tentu lebih riuh jika nantinya Prabowo mengalah dan masuk dalam formasi baru Ganjar-Prabowo.

Apalagi setelah Sandiaga Uno hengkang ke PPP atau ke PKS? Ini bukan drama, karena Sandiaga butuh kendaraan parpol lain. Tidak mungkin satu partai memborong dua posisi sekaligus.

Kekuatan Gerindra saat ini, masih butuh dukungan parpol lain untuk menggenapi presidensial treshold-nya. Harganya jelas tidak murah, pasti akan ada langkah konsolidasi untuk berbagi posisi capres dan cawapres.

Lain Prabowo, dan Ganjar, lain pula Anies yang digadang sebagai tiga kekuatan besar berelektabilitas tinggi.

Dukungan PKS resmi membuat Anies Rasyid Baswedan punya tiket mendaftar sebagai calon presiden (capres) 2024, jika anggota koalisi tidak berkurang hingga pendaftaran ke KPU. Saat ini Anies sudah mendapatkan dukungan dari Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS.

Perolehan suara dukungan Anies, totalnya sudah melebihi syarat pencapresan dengan jumlah kursi 20 persen di DPR. Nasdem menyumbang 59 kursi (10,26 persen), Demokrat 54 kursi (9,39 persen), dan PKS 50 kursi (8,70 persen). Berarti kini Anies mengamankan 28,35 persen.

Begitupun dengan koalisi Perubahan-nya, Anies tetap diliputi kehawatiran karena komposisi PKS, Partai Nasional Demokrat, dan Demokrat masih bisa berubah.

Terutama jika negosiasi Golkar di belakang panggung bisa menggaet AHY bergabung dalam koalisi bentukannya dan membangun formasi Airlangga-AHY, karena itu juga berarti Koalisi Perubahan akan gembos 54 kursi (9,39 persen suara).

Meskipun kekuatannya diragukan, lagi-lagi karena elektabilitas, bukan soal unggul suara parlemennya.

Peluang lainnya masih bisa dijajaki, setidaknya ada empat partai, yaitu Golkar, Gerindra, PKB dan PAN yang belum menentukan sikap resmi bergabung dalam koalisi-koalisi yang ada.

Namun hal itu sangat riskan, tapi bukan tidak mungkin jika muncul formasi baru Anies- Airlangga, atau yang lainnya, namun masih sangat spekulatif sifatnya.

Politik transaksional, deal politik atau apapun namanya di belakang panggunglah yang paling sulit ditebak. Meskipun mengatasnamakan demokrasi prosedural, pembangunan berkeadilan dan kesejahteraan rakyat.

Seperti kata Joseph Schumpeter, politik kepentingan atau kepentingan politik, tetap saja masih yang terdepan. Prabowo saja bilang, ”siapapun presiden terpilih, yang penting kompromi”.

Banyak hal tak bisa direkam karena off the record, terutama di panggung belakang, persis dalam dramatrugi Hoffman. Sulit rasanya jika harus transparan dan jujur di depan publiknya sendiri, apalagi yang dibicarakan bagi-bagi kekuasaan dan kuasa politik.

Bukan hal aneh jika dalam debat, pertanyaan sederhana harus dijawab dengan teori-teori berat. Padahal hanya butuh jawaban “ya” atau “tidak”.

Pada akhirnya para calon dan partai akan mengalah pada kekuasaan para pemenang. Para pendukung capres yang bertempur hingga berdarah-darah di ruang debat di televisi, medsos, pada akhirnya harus gigit jari.

Entah kapan panggung belakang dimainkan, secara tak terduga capres pilihan, tiba-tiba sowan politik kepada rivalnya, dan tak lama kemudian sudah berada dalam satu gerbong koalisi. Bagaimana semua bisa terjadi setelah debat “berdarah-darah?”

Begitulah politik, punya langgamnya sendiri, dan dunia gelap politik memang tak pernah jujur sepenuhnya. Kecuali hanya seremoni, formalitas dan basa-basinya saja, sementara apa yang terjadi di belakang layar, siapa yang bisa menduga!

https://nasional.kompas.com/read/2023/05/19/12285661/rahasia-gelap-pilpres-yang-tak-pernah-kita-tahu

Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke