Jika benar, maka panggung belakang tentu lebih riuh jika nantinya Prabowo mengalah dan masuk dalam formasi baru Ganjar-Prabowo.
Apalagi setelah Sandiaga Uno hengkang ke PPP atau ke PKS? Ini bukan drama, karena Sandiaga butuh kendaraan parpol lain. Tidak mungkin satu partai memborong dua posisi sekaligus.
Kekuatan Gerindra saat ini, masih butuh dukungan parpol lain untuk menggenapi presidensial treshold-nya. Harganya jelas tidak murah, pasti akan ada langkah konsolidasi untuk berbagi posisi capres dan cawapres.
Lain Prabowo, dan Ganjar, lain pula Anies yang digadang sebagai tiga kekuatan besar berelektabilitas tinggi.
Dukungan PKS resmi membuat Anies Rasyid Baswedan punya tiket mendaftar sebagai calon presiden (capres) 2024, jika anggota koalisi tidak berkurang hingga pendaftaran ke KPU. Saat ini Anies sudah mendapatkan dukungan dari Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS.
Perolehan suara dukungan Anies, totalnya sudah melebihi syarat pencapresan dengan jumlah kursi 20 persen di DPR. Nasdem menyumbang 59 kursi (10,26 persen), Demokrat 54 kursi (9,39 persen), dan PKS 50 kursi (8,70 persen). Berarti kini Anies mengamankan 28,35 persen.
Begitupun dengan koalisi Perubahan-nya, Anies tetap diliputi kehawatiran karena komposisi PKS, Partai Nasional Demokrat, dan Demokrat masih bisa berubah.
Terutama jika negosiasi Golkar di belakang panggung bisa menggaet AHY bergabung dalam koalisi bentukannya dan membangun formasi Airlangga-AHY, karena itu juga berarti Koalisi Perubahan akan gembos 54 kursi (9,39 persen suara).
Meskipun kekuatannya diragukan, lagi-lagi karena elektabilitas, bukan soal unggul suara parlemennya.
Peluang lainnya masih bisa dijajaki, setidaknya ada empat partai, yaitu Golkar, Gerindra, PKB dan PAN yang belum menentukan sikap resmi bergabung dalam koalisi-koalisi yang ada.
Namun hal itu sangat riskan, tapi bukan tidak mungkin jika muncul formasi baru Anies- Airlangga, atau yang lainnya, namun masih sangat spekulatif sifatnya.
Politik transaksional, deal politik atau apapun namanya di belakang panggunglah yang paling sulit ditebak. Meskipun mengatasnamakan demokrasi prosedural, pembangunan berkeadilan dan kesejahteraan rakyat.
Seperti kata Joseph Schumpeter, politik kepentingan atau kepentingan politik, tetap saja masih yang terdepan. Prabowo saja bilang, ”siapapun presiden terpilih, yang penting kompromi”.
Banyak hal tak bisa direkam karena off the record, terutama di panggung belakang, persis dalam dramatrugi Hoffman. Sulit rasanya jika harus transparan dan jujur di depan publiknya sendiri, apalagi yang dibicarakan bagi-bagi kekuasaan dan kuasa politik.
Bukan hal aneh jika dalam debat, pertanyaan sederhana harus dijawab dengan teori-teori berat. Padahal hanya butuh jawaban “ya” atau “tidak”.
Pada akhirnya para calon dan partai akan mengalah pada kekuasaan para pemenang. Para pendukung capres yang bertempur hingga berdarah-darah di ruang debat di televisi, medsos, pada akhirnya harus gigit jari.
Entah kapan panggung belakang dimainkan, secara tak terduga capres pilihan, tiba-tiba sowan politik kepada rivalnya, dan tak lama kemudian sudah berada dalam satu gerbong koalisi. Bagaimana semua bisa terjadi setelah debat “berdarah-darah?”
Begitulah politik, punya langgamnya sendiri, dan dunia gelap politik memang tak pernah jujur sepenuhnya. Kecuali hanya seremoni, formalitas dan basa-basinya saja, sementara apa yang terjadi di belakang layar, siapa yang bisa menduga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.