Alasannya adalah pada kedua pasangan Capres atau Cawapres yang bertarung pada Pilpres 2014 tidak ada kader Partai Demokrat.
Padahal jauh hari sebelum dibukannya pendaftaran Capres/Cawapres, pada tahun 2013, Partai Demokrat telah melakukan konvensi partai untuk menentukan kandidat yang bakal diusung untuk Pilpres 2014.
Kala itu, Dahlan Iskan berhasil mengalahkan 10 nama lainnya yang juga maju di Konvensi Partai Demokrat.
Sialnya Dahlan Iskan tidak bertarung di Pilpres 2014, baik dalam kapasitas Capres atau Cawapres karena persentase suara nasional Partai Demokrat terjun bebas dari 20,85 persen di Pileg 2009 menjadi 10,19 persen di Pileg 2014.
Partai Demokrat gagal memenuhi syarat presidential threshold.
Jelang Pilpres 2014, Partai Demokrat juga tidak mampu melakukan lobi politik membentuk poros koalisi minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional partai-partai untuk menggolkan Dahlan Iskan sebagai Capres atau Cawapres.
Sehingga lumrah pada akhirnya SBY tidak melakukan endorsement saat Pilpres 2014. Karena fakta politik di negara demokrasi manapun termasuk di Indonesia, wajarnya presiden aktif akan melakukan dukungan terbuka pada kandidat separtai dengannya.
Pun ketika akhirnya secara politik Partai Demokrat mengusung pasangan Prabowo-Hatta, ini lebih pada alasan personal karena Hatta Rajasa adalah mertua dari Sekjen Partai Demokrat yang juga putra bungsu SBY, yaitu Edhie Baskoro Yudhoyono.
Dalam satu tahun terakhir, banyak orang menunggu arahan dan petunjuk Presiden Jokowi terhadap dukungan Capres 2024.
Khususnya bagi mereka yang telah menggunakan hak pilihnya dalam memilih Jokowi di dua Pilpres, yaitu 2014 dan 2019. Lebih lagi, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi di banyak lembaga survei selalu berada di atas 75 persen.
Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2023, bahkan menunjukkan tingkat kepuasan kinerja Presiden Jokowi mencapai 82 persen.
Angka tersebut secara jelas menyiratkan bahwa dukungan Jokowi terhadap pasangan Capres akan menjadi salah satu penentu keterpilihan presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2024-2029.
Landasannya adalah dampak efek ekor jas (cocktail effect) Capres yang mendapatkan keuntungan elektoral yang koheren dengan pilihan Jokowi.
Siapa pun Capres yang didukung Jokowi sama artinya dengan mendukung Jokowi tiga periode. Ini salah satu wacana yang berkembang terkait kampanye masif “manut Jokowi” akhir-akhir ini.
Pada pengertian yang sederhana efek ekor jas dapat dimaknai sebagai pengaruh figur kandidat dalam peningkatan perolehan suara partai atau kandidat.